Senin, 04 September 2006

Saat Kabar Kematian Menyapa


Belakangan ini berita kematian begitu menyita perhatian saya. Memang sebagian besar bukan orang terdekat saya. Namun siapapun dia, membuat saya merenung mengenai kematian. Ternyata kematian begitu dekat dengan hidup. Bahkan antara kematian dan hidup beda-beda tipis.


 


Dimulai dengan kabar meninggalnya bunda mas Eko yang saya baca hanya beberapa saat setelah ibu saya pulang menginap di rumah kami di Kranggan. Terharu membaca postingan mas Eko. Terharu akan perhatiannya yang sedemikian besar terhadap ibunda, hingga akhir hayatnya. Apakah saya sudah memperhatikan ibu? Menetes air mata saya.


 


Kemudian kabar datang dari Hagi, adik kelas saya di kampus dulu. Kami kebetulan tak pernah bertemu sejak saya lulus tahun 1995 lalu. Tapi belakangan saya dan dia saling ‘jenguk’ di MP. Kematian ibunda Hagi juga menyadarkan saya, betapa kesehatan orang terkasih kita sangat bernilai. Hagi dalam postingannya sempat ‘agak menyesal’ –sorry kalau saya tak salah—mengapa kanker stadium lanjut baru ia ketahui belakangan.


 


Saya katakan melalu PM padanya, tak perlu menyesali yang sudah digariskan ALLAH. Dalam perbincangan by phone sy tak kuasa banyak bercakap, karena begitu emosional ikut merasakan kehilangan dia –ini salah satu kelemahan saya, tak bisa bercakap banyak saat mendengar berita kematian--.


 


Saya jadi teringat ibu yang insya Allah tahun ini akan pergi ke tanah suci untuk berhaji. Ibu saya punya kendala dengan kakinya, rematiknya cukup parah. Bahkan kalau sedang kumat, kakinya bengkak dan tak kuat berjalan. Saya membayangkan bagaimana di tanah suci nanti kalau ibu sakit. Ingin rasanya mendampingi ibu disana…


 


Tapi sabtu lalu saat ibu manasik di asrama haji Pondok Gede, saya lihat meski kelelahan ibu punya semangat luar biasa. Keinginan ibu yang kuat untuk bertamu di rumah Allah, mengalahkan semua kendala kesehatannya. Saya berdo’a semoga di tanah suci nantinya, ibu tak menghadapi kendala apapun.


 


Kemudian hari Jum’at lalu, satu lagi kabar duka menghampiri saya, bunda Inong yang sempat koma karena asma, akhirnya dijemput malaikat maut. Saya tak mengenai dia, bahkan dia bukan pula network saya, tapi saya kerap berkunjung ke situs masaknya. Ah, jadi teringat istri di rumah.


 


Minggu, kabar duka datang dari Nozqa. Bhagol, calon suami yang bakal melamarnya meninggal dunia, dalam usia yang sangat muda. Saya tercenung membayangkan dalam posisi Nozqa, pasti berantakan hati dan pertahanan diri saya.


 


Sebelum kabar dari Nozqa, minggu pagi kabar duka dari kalangan dekat pun mampir, pakde Ariadi –kakak ipar ayah saya-- di Kediri wafat setelah berjuang dengan penyakit strokenya dalam 2 tahun terakhir.  


 


Ah, kematian, ternyata begitu dekat dengan kita. Tak pernah tahu kapan maut bakal menjemput. Sudahkah kita bersiap?

28 komentar:

  1. kadang..aku berpikir...ada hubungannya dengan networking MP.. mungkin terlalu berlebihan ya berpikirnya, tapi dr dulu saya perhatikan pasti gitu..kalo satu sakit, yang lain bisa ikutan ada yang sakit (pdhl ketemu jg enggak)..ada yang kehilangan, nanti tau2 ada jurnal kehilangan juga dan itu bukan dari satu org doang..(pdhl daerahnya beda2)..terus yang satu hamil eh ada juga yang gak berapa lama hamil juga (pdhl beda umur jauh)..ya mungkin saya terlalu menghubung2kan saja... tapi beberapa minggu ini benar2 minggu sedih :(

    BalasHapus
  2. din, maut itu deket sekali.
    jaraknya cuma seurat leher kita..
    gw sering mengalami kejadian yang mendekati maut.
    jadi, gw lumayan akrab dengan hal-hal itu.

    btw, gw sempet, dan masih terobsesi dengan kematian.
    kayaknya, seru juga, kalo kita udah sampai waktunya..
    hehehe..

    BalasHapus
  3. semoga yg ditingalkan diberi ketabahan.....

    BalasHapus
  4. Ada yang lahir ada yang mati...Yang terpenting bagaimana pergi dalam keadaan qusnul khatimah ya Din. Kemarin Abil, anakku yang kecil nangis terisak-isak waktu ditanya kakaknya nanti kalo sudah besar mau jadi apa. Dia tidak mau jadi besar, karena kalo dia besar, nanti ibu jadi tua dan mati. Rupanya dia sudah paham konsepnya...

    BalasHapus
  5. Ah, kematian, ternyata begitu dekat dengan kita. Tak pernah tahu kapan maut bakal menjemput

    iya cang..

    BalasHapus
  6. semoga kita semua belum terlambat untuk mempersiapkannya ya mas udin

    BalasHapus
  7. Bila pernah mengalami, betapa kematian begitu dekat
    menyapa
    atau mendekati,
    betapa kau rasakan sebuah MUKJIZAT
    manakala pagi hari engkau terbangun
    lalu kau bersujud ke arah KIBLAT.
    Tak dapat kau cegah betapa airmata berlimpah,
    mansyukuri akan KESEMPATAN yang dikaruniai-NYA.
    Dan,
    kau jalani kehidupan ini dengan penuh kedamaian antar sesama manusia,
    kau nikmati hari-hari kehidupan ini.
    Manakala BERDO'A mensyukuri atas limpahan karunia-NYA
    dalam benak ini tersirat betapa HIDUP ini indah. Sangat indah. Namun singkat. Bersiaplah, seakan hidup ini berakhir pada saat ini. Detik ini.
    Salam dari saya (yang mengalami beberapa kali begitu dekat kematian itu) untukmu dan keluarga.

    BalasHapus
  8. kematian selalu membawa penyadaran baru buat saya... betapa nantinya saya pun akan mengalami yg sama... dan betapa takutnya saya, jika dijemput oleh maut tanpa persiapan apa-apa. duh... moga2 kita semua bs meninggalkan alam fana ini dengan bekal yg cukup ya, mas udin. amiin.

    BalasHapus
  9. semoga kita semua bisa bersiap, meski ini semua rahasia Illahi ya mbak Wiwit.

    BalasHapus
  10. saya setuju, kabar duka itu begitu beruntun dan membuat kita nyaris tak sempat terisak

    BalasHapus
  11. mungkin tiap orang punya cerita sendiri soal ini Gi.
    gw juga pernah nganggep bakal 'lewat' saat lari pagi dan nyaris pingsan di gasibu.
    saat itu gw pikir 'selesai' sudah sejarah hidup gw, karena antara sadar dan nggak sadar dalam waktu singkat bisa melihat semua perjalanan hidup gw.
    ketika tersadar, gw merasa lelah, seolah habis berjalan sangat jauh.

    BalasHapus
  12. Oh... jadi karena itu kau berhenti lari di Gasibu. Bukan lantaran persoalan bau badan, hansip yang teriak "maling! maling!", atau kesal lantaran si manis Susi tak kunjung mau ikut lari pagi tiap kali kau ajak.....
    Hahahaha....

    Kematian memang misteri lantaran sangat-sangat sedikit orang yang sukses menyebranginya dan kembali untuk menyeritakan kejadian selengkap-lengkapnya soal apa yang ada di balik tapal batas itu.

    Memang paradoksal, selagi hidup kita menikmatinya sebisa mungkin seakan kematian tak pernah datang. Dan ketika kematian datang menghampir, kita merasa belum banyak yang kita lakukan sepanjang hidup yang mungkin memang pendek ini.

    BalasHapus
  13. yun, menarik juga kalau kau bikin postingan soal menjelaskan arti kematian ke anak. sulit tuh!

    BalasHapus
  14. belum...belum siap....
    amalku belum cukup hiks

    BalasHapus
  15. tak ada kata terlambat mbak untuk memulai, yuk tebarkan kebajikan bersama.

    BalasHapus
  16. wah sharing dong mbak eni, pengalamannya pasti menarik!

    BalasHapus
  17. kalau ada yang seperti itu, mungkin nggak akan ada yang mau mati dong Tem.
    soal Susi, hmmm ...udah maried kah itu bocah?

    BalasHapus
  18. Ntar deh Din, nggak janji tapi kuusahakan karena anak2 emang lagi banyak tanya soal ini...

    BalasHapus
  19. Begitu Allah menghendaki habislah masa kita di dunia, ya sudah, kita harus 'pulang'. Jadi ingat sangu yg masih kurang, hiks...

    BalasHapus
  20. -maaf telat replynya-

    justru sampe hari ini kadang terselip rasa penyesalan mas.....masih banyak keinginan2 mama yang belum bisa saya wujudkan.....saya masih sangat kurang dalam menyayanginya...... saya belum bisa membahagiakannya....

    *makasih atas postingannya yah mas....*

    BalasHapus