Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Literature & Fiction |
Author: | Wina Karnie |
Penerbit : Haniya
Buku yang bagus tidak selamanya (harus) mengusung tema besar. Terkadang tema-tema kecil di sekitar kita bisa menjadi menarik saat dituliskan. Apalagi kalau penulisnya bersentuhan langsung dengan apa yang ditulisnya.
Nah, bukunya Wina ini saya golongkan pada hal tadi.
Wina tidak mengusung tema besar dalam kumpulan cerpen ini. Dia hanya memotret kondisi buruh migran indonesia yang berada di negeri beton--Hong Kong. Kebetulan, selain penulis, Wina juga seorang buruh migran. Jadi, kloplah Wina menuliskan dunianya sehari-hari.
Memang bukan cerita orisinal yang dialami Wina sendiri, karena beberapa adalah hasil penelusuran dan curhat para TKI di sana. Tapi membaca buku ini, saya seolah dibawa pada potret penderitaan khas TKI. Entah itu dilecehkan karena profesinya oleh sang majikan. Dilecehkan secara seksual. Atau bahkan (terpaksa) bunuh diri atau dibunuh karena tak kuat menanggung beban hidup.
Ternyata menjadi pahlawan devisa tidaklah mudah! Setidaknya, membaca buku ini kita akan paham, betapa kemiskinan dan kondisi ekonomi membawa mereka --para TKI-- harus berjuang di negeri orang.
Untuk melukiskan penderitaan para buruh migran, Wina saya akui cukup berhasil. Dia berhasil masuk ke persoalan tanpa berniat membela diri. Dari kacamata Wina, meluncurlah kisah mengenai sulitnya beradaptasi dengan budaya Hong Kong, TKI yang terjebak dengan lesbianisme dan akhirnya tewas dibunuh.
Namun dari 12 cerpen Wina, saya paling senang dengan "Perempuan Tua di Jembatan Layang". Kisah ini sangat menyentuh, bercerita mengenai persahabatan seorang TKI dengan nenek tua di kolong jembatan layang HK. Ternyata sang nenek bukanlah tunawisma biasa. Ia menjadi korban tindakan semena-mena anak-2nya.
Ia yang sudah membesarkan ke-6 anaknya hingga menjadi pengusaha sukses, ternyata diujung hidupnya harus tersisih, karena sang anak (dan menantu) enggan menampungnya, lantaran harta warisan sudah dibagi-bagi tak bersisa.
Menolak tinggal di panti jompo, ia memilih menggelandang di jembatan layang. "Nasibnya" berubah hingga bertemu dengan sang TKI, yang kerap menyisihkan sedikit uang atau makanan bagi sang nenek.
Ternyata itu hanya akal-akalan sang nenek untuk menarik perhatian anak-anaknya. Dan akhirnya ia ditemukan kembali oleh anak-2nya yang merasa "malu" ibunya menjadi gelandangan. Kisah ini berakhir dengan permintaan sang Nenek pada si TKI, agar ia menjadi pengasuhnya. Jika si TKI menolak, ia enggan pulang ke rumah anaknya!
Kalau ada yang mengganggu dengan isi buku, mungkin kehadiran cerpen tamu dari Hepi andi bastoni di awal. Kesannya lucu, kok kumcer ada cerpen tamunya. Lalu, siapa tuan rumahnya?