Kamis, 28 September 2006

Pawai Ramadhan1


Anak-anak tapak Suci

Yang tercecer dari kegiatan sambut Ramadhan dari sekolahnya Ihsan, SDIT AL-Ishmah Kranggan, before ramadhan.

Acaranya lumayan seru. Ihsan kelihatan senang meski kelelahan, karena rutenya lumayan jauh..

Sayangnya fotonya Ihsan sedikit, karena babenya gak sempet ikut dari awal acara. Ini juga dibela-belain nyegat di tengah acara, meski ngantuk berat sehabis kerja malam. Apalagi selain moto juga gandeng si bungsu Ninis yang pengen lihat masnya pawai.

Tak apalah, sekali setahun demi anak....

Senin, 25 September 2006

Puasa dan Reward



Ramadhan tahun ini, sejak awal saya dan istri sudah mencanangkan 'cinta' ramadhan bagi tiga bocah kecil kami. Si sulung yang duduk di kelas 3 SD, sudah cukup mengerti apa dan mengapa ramadhan. Bahkan tahun lalu, untuk pertama kalinya Ihsan 'pol' puasanya. Suatu capaian prestasi yang cukup membanggakan bagi si ganteng 002 (baca: kosong-kosong dua; ganteng 001 ? babenya dong!).


Saat lebaran ia dengan bangganya menunjukkan uang 50 ribu yang ia dapat berkat prestasinya itu.


Ibadah dengan reward materi? Mungkin ini kontroversial bagi sebagian orang. Tapi menurut saya tak selamanya salah. Anak-anak memang harus dimotivasi untuk mencapai sesuatu. Bagi si sulung, uang itu sebatas hadiah yang menyenangkan. Toh penggunaan uangnya, juga tetap dalam kontrol kami, ortunya.


Apalagi ini hanya saat ramadhan. Dan nanti setelah ia kami nilai cukup disiplin puasanya, uang akan kami ganti dengan reward lain.


Tahun ini karena sholat 5 waktunya masih agak bolong-2, saya coba lagi dengan cara serupa. Saya buat daftar isian semacam diary sederhana berisi catatan sholat 5 waktu, puasa, mengaji dan shalat tarawihnya. Dia tertarik meski semula cemberut. Alhamdulillah, masuk hari ketiga ramadhan, sholatnya baru bolong 2 kali.


Semoga hari selanjutnya, semangatnya kian panjang, dan ia melakukannya bukan karena ada reward dari sang ayah, tapi 'reward' dari Allah SWT. 


*pic dari google, buku Aku Belajar Puasa terbitan Mizan.

Kenalan Baru

Hi all, ada kawan baru nih, namanya Dewi Cipani, kawan sekerja di kantor saya.


Dia berharap bisa meluaskan jagat pertemanan melalui MP.


Profil-nya bisa dilihat di sini.


Thanks yo..

Senin, 18 September 2006

Eriq Ultah Euy!



Eriq, selebritis MP hari ini ulang tahun!

                                           Selamat bro, semoga tetap semangat!


*foto diambil dari sini.

Minggu, 17 September 2006

Maaf, Mohon Maap!


Kurang dari sepekan menjelang Ramadhan. Sudahkah kita yang muslim bersiap? Ibadah yang hanya satu tahun sekali nan penuh rahmat ini, sayang kalau terlewatkan.


Yang paling utama harus disiapkan adalah hati. Membuka hati yang bersih adalah kunci mengarungi satu bulan penuh tantangan dan berkah ini. Selain hati yang kita bersihkan, persiapan fisik tak kalah penting.


Tahun lalu karena persoalan fisik, saya dengan menyesal harus 'bolong' puasa 5 hari. Menyesal? Sangat. Untuk itu saya berupaya menjaga agar fisik ini tak kedodoran. Apalagi tahun ini saya kembali masuk malam. Semoga tahun ini tak ada halangan merintang.


Mari kawan dan saudara, masuki bulan Ramadhan dengan riang. Mari perbanyak kebaikan dan sedekah.


Untuk itu, saya dan keluarga mengucapkan mohon maaf lahir batin untuk semua yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Semoga kita semua diberi berkah! Ini bukan basa basi, dan bukan ikutan latah maap-nya mpok Minah di Bajaj Bajuri. Semoga puasa saya dan saudara-saudaraku semua diterima Allah SWT.


Amin.

Kamis, 14 September 2006

Tampilan Blog Saya Berubah!

Setelah iseng mengutak-atik, tampilan blog saya akhirnya berubah! Memang belum jadi yang terbaik, dan jangan bandingkan dengan blog MP-ers lainnya yang keren-2. Masih jauh dari sempurna lah!


Tapi, setidaknya ini upaya lumayan, ditengah pengetahuan saya yang minim akan HTML. Tampilan ini saya rombak berkat tutorial beberapa MP-ers, yang memberi tips singkatnya.


Ini bukan akhir dari pencarian saya. Dan kalau nantinya mendapati tampilan blog saya berubah lagi, harap maklum, karena saya masih penasaran! Yuk...

Minggu, 10 September 2006

Tertawa dan Bergoyang

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Parenting & Families
Author:Trish Kuffner
Penerbit: Elex Media Computindo, Jakarta, 2006
Tebal: 232 hal.

Karena tak ingin anak-2 terlalu terpaku dengan TV, video game dan komputer, saya senang mengajak anak-2 kegiatan yang sifatnya fisik. Dan saya senang mencari informasi mengenai hal tersebut. Sebelumnya saya sempat membaca postingan MP-ers Santi Soekanto mengenai kegiatan dengan anak tanpa TV.

Dan akhirnya saya dapatkan buku ini. Buku yang ringan. Sesuai jenisnya "Busy Book Series". Buku ini sebenarnya berisi hal-hal yang sudah kita ketahui sehari-hari.

Penulis hanya mengumpulkan contoh kegiatan yang bisa dilakukan orang tua dengan anak-anak balitanya. Semuanya kegiatan fisik. Mengapa fisik? Menurut penulis, meningkatkan kegiatan fisik dan tingkat kebugaran sejak masa kanak-kanak sangat penting. Karena anak yang aktif akan mengembangkan ketrampilan fisik, yang memberi sumbangan pada perkembangan kepribadian, sosial dan emosional.

Yang luar biasa, justru contoh-2 yang dipaparkan oleh penulis. Butuh kesabaran dalam mendokumentasikan kegiatan semacam ini sehingga menjadi sebuah buku. Apalagi penulis juga menambahkan catatan di beberapa aktivitas, termasuk cara pengembangan permainannya.

Aktivitas yang bisa dijalankan bersama sikecil di rumah ini, umumnya membutuhkan partisipasi aktif juga dari ortu. Jadi, saran saya, persiapkan tenaga kita jika hendak mencontoh permainan dari buku ini. Karena kita akan melompat, lari, tengkurap, bergoyang bersama sikecil.

Tapi, konteksnya tetap buat belajar sambil bermain. Beberapa diantaranya sudah saya coba dengan si bungsu Ninis, dan hasilnya ...dia tertawa senang dan bergerak tanpa henti. Sementara saya...terkapar kelelahan!

So far, buku ini menarik buat mereka yang memilki bocah cilik di rumah atau sedang mengajar anak-anak usia pra sekolah. Contoh-contoh permainannya mudah diikuti dan dimengerti. Semuanya ditujukan untuk melatih motorik dan kemampuan verbal. Tapi, ingat tetap dampingi anak saat bermain, karena beberapa contoh permainannya harus dalam pendampingan.


Perempuan di Negeri Beton

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Wina Karnie
Penerbit : Haniya

Buku yang bagus tidak selamanya (harus) mengusung tema besar. Terkadang tema-tema kecil di sekitar kita bisa menjadi menarik saat dituliskan. Apalagi kalau penulisnya bersentuhan langsung dengan apa yang ditulisnya.

Nah, bukunya Wina ini saya golongkan pada hal tadi.

Wina tidak mengusung tema besar dalam kumpulan cerpen ini. Dia hanya memotret kondisi buruh migran indonesia yang berada di negeri beton--Hong Kong. Kebetulan, selain penulis, Wina juga seorang buruh migran. Jadi, kloplah Wina menuliskan dunianya sehari-hari.

Memang bukan cerita orisinal yang dialami Wina sendiri, karena beberapa adalah hasil penelusuran dan curhat para TKI di sana. Tapi membaca buku ini, saya seolah dibawa pada potret penderitaan khas TKI. Entah itu dilecehkan karena profesinya oleh sang majikan. Dilecehkan secara seksual. Atau bahkan (terpaksa) bunuh diri atau dibunuh karena tak kuat menanggung beban hidup.

Ternyata menjadi pahlawan devisa tidaklah mudah! Setidaknya, membaca buku ini kita akan paham, betapa kemiskinan dan kondisi ekonomi membawa mereka --para TKI-- harus berjuang di negeri orang.

Untuk melukiskan penderitaan para buruh migran, Wina saya akui cukup berhasil. Dia berhasil masuk ke persoalan tanpa berniat membela diri. Dari kacamata Wina, meluncurlah kisah mengenai sulitnya beradaptasi dengan budaya Hong Kong, TKI yang terjebak dengan lesbianisme dan akhirnya tewas dibunuh.

Namun dari 12 cerpen Wina, saya paling senang dengan "Perempuan Tua di Jembatan Layang". Kisah ini sangat menyentuh, bercerita mengenai persahabatan seorang TKI dengan nenek tua di kolong jembatan layang HK. Ternyata sang nenek bukanlah tunawisma biasa. Ia menjadi korban tindakan semena-mena anak-2nya.

Ia yang sudah membesarkan ke-6 anaknya hingga menjadi pengusaha sukses, ternyata diujung hidupnya harus tersisih, karena sang anak (dan menantu) enggan menampungnya, lantaran harta warisan sudah dibagi-bagi tak bersisa.

Menolak tinggal di panti jompo, ia memilih menggelandang di jembatan layang. "Nasibnya" berubah hingga bertemu dengan sang TKI, yang kerap menyisihkan sedikit uang atau makanan bagi sang nenek.

Ternyata itu hanya akal-akalan sang nenek untuk menarik perhatian anak-anaknya. Dan akhirnya ia ditemukan kembali oleh anak-2nya yang merasa "malu" ibunya menjadi gelandangan. Kisah ini berakhir dengan permintaan sang Nenek pada si TKI, agar ia menjadi pengasuhnya. Jika si TKI menolak, ia enggan pulang ke rumah anaknya!

Kalau ada yang mengganggu dengan isi buku, mungkin kehadiran cerpen tamu dari Hepi andi bastoni di awal. Kesannya lucu, kok kumcer ada cerpen tamunya. Lalu, siapa tuan rumahnya?


Rabu, 06 September 2006

Catatan Puisi Inong

http://puisi-inong.blogspot.com/
puisi-puisi cantik dari seorang yang belum sempat saya kenal. seorang wanita, ibu dari dua anak yang baru saja berpulang menuju keabadian.

Puasa Ramadhan

Start:     Sep 24, '06 03:00a
Location:     seluruh dunia
Hari pertama puasa

Dapat Kiriman Buku dari Wina


Surprise saat membuka PM dari Wina, MP-ers yang juga TKI di Hong Kong. Akhirnya dia ketemu juga dengan tim liputan TPI yang sedang tugas ke Hong Kong meliput Indonesian Day, hari Minggu lalu. Kaget karena semua serba dadakan. Saya baru ketemu dengan Jajang, reporter TPI yang ke HK dua hari sebelum berangkat. Lalu saya putar otak, saya buat arahan singkat mengenai liputan di negeri-nya Jackie Chan itu.


Karena ada Wina di HK, maka saya kirim PM untuk minta bantuannya. Dua hari kemudian baru PM saya dibalas Wina.


Dan beberapa jam sebelum berangkat ke HK nomor itu saya deliver ke rekan saya. Karena sibuk dengan kerjaan kantor, saya tak sempat mengecek lagi apakah rekan saya bertemu dengan narasumbernya di HK.


Hingga akhirnya sebuah PM dari Wina mengabarkan, ia sudah bertemu rekan saya. Bahkan ia sempat menemani rekan saya jalan-2 di HK. Dan lebih surprise lagi, Wina mengirimi saya oleh-oleh buku kumpulan cerpennya, Perempuan di Negeri Beton. Wah!


Thx ya Wina. Ini semua dimungkinkan oleh MP! Nggak kebayang sebelumnya ini bisa terjadi. Bertemu langsung dengan Wina aja belum pernah.


Sebenarnya ini bukan pertama kali saya manfaatkan jaringan saya di MP untuk keperluan kantor. Sebelumnya dengan Ari dan Nozqa, tim liputan kami juga pernah mendapat bantuan. Dengan Ari bahkan pernah dua kali, kontes robot dan Mother's day. Sementara Nozqa saat liputan pameran komik hasil karya anak-anak LP.


Uniknya, semua itu saya lakukan melalui MP dan teleponan. Karena belum sekalipun saya sempat kopdar dengan kawan-2 MP-ers. Sorry ye...


*ket.foto: wina, diambil dari sini.

Selasa, 05 September 2006

Sekali lagi soal Kematian


Ini masih lanjutan dari postingan sebelumnya. Setelah mendapat kabar duka beruntun akhir-akhir ini, saya berkhayal mendengar kabar baik, apapun itu. Tapi, hingga kemarin, selasa, saya tampaknya masih harus kembali mendengar kabar duka.


Saat masih di studio untuk mengawal siaran pagi, sekitar pukul 05.42, sebuah sms masuk. Saya pikir ini pasti dari bos. Biasanya kalau ada yang gak puas, dia selalu sms saat acara masih on-air. Eh, bukan. Ternyata dari nyonya di rumah. Bunyinya begini "Innalillahi wainalillahi rajiun Bpknya Inge meninggal".


Saya tercekat sebentar, tapi langsung bisa mengendalikan diri. Inna Lillahi.. Tetangga satu gang kami di Kranggan, Ludi Syamsudin dipanggil oleh sang Khalik dalam usia yang cukup muda, 43 tahun. Kematian bagi almarhum dan juga keluarganya, mungkin akan memberi keringanan. Karena selama lebih dari 2 tahun sang ayah diderita sakit berkepanjangan, yang memaksanya keluar masuk rumah sakit.


Duka ini adalah yang ketiga terjadi di gang kami. Sebelumnya tahun 2004, tetangga depan rumah kami dipanggil menghadap Illahi. Kemudian tahun 2005, tetangga sebelah kanan tembok rumah kami. Dan tahun ini di depan kanan rumah kami.


Ada seloroh beberapa rekan, setelah ini bisa jadi giliran si-A, atau si-B. Benar, kita memang menunggu giliran. Tapi seberapa bisa sih manusia meramalkan kematian? Bahkan meski ia ada di depan mata sekalipun? Biarlah kematian masih menjadi rahasia Allah. Saya tak mau dihantui ketakutan tak beradab mengenai kematian.

Sekali lagi soal Kematian


Ini masih lanjutan dari postingan sebelumnya. Setelah mendapat kabar duka beruntun akhir-akhir ini, saya berkhayal mendengar kabar baik, apapun itu. Tapi, hingga kemarin, selasa, saya tampaknya masih harus kembali mendengar kabar duka.


Saat masih di studio untuk mengawal siaran pagi, sekitar pukul 05.42, sebuah sms masuk. Saya pikir ini pasti dari bos. Biasanya kalau ada yang gak puas, dia selalu sms saat acara masih on-air. Eh, bukan. Ternyata dari nyonya di rumah. Bunyinya begini "Innalillahi wainalillahi rajiun Bpknya Inge meninggal".


Saya tercekat sebentar, tapi langsung bisa mengendalikan diri. Inna Lillahi.. Tetangga satu gang kami di Kranggan, Ludi Syamsudin dipanggil oleh sang Khalik dalam usia yang cukup muda, 43 tahun. Kematian bagi almarhum dan juga keluarganya, mungkin akan memberi keringanan. Karena selama lebih dari 2 tahun sang ayah diderita sakit berkepanjangan, yang memaksanya keluar masuk rumah sakit.


Duka ini adalah yang ketiga terjadi di gang kami. Sebelumnya tahun 2004, tetangga depan rumah kami dipanggil menghadap Illahi. Kemudian tahun 2005, tetangga sebelah kanan tembok rumah kami. Dan tahun ini di depan kanan rumah kami.


Ada seloroh beberapa rekan, setelah ini bisa jadi giliran si-A, atau si-B. Benar, kita memang menunggu giliran. Tapi seberapa bisa sih manusia meramalkan kematian? Bahkan meski ia ada di depan mata sekalipun? Biarlah kematian masih menjadi rahasia Allah. Saya tak mau dihantui ketakutan tak beradab mengenai kematian.

Senin, 04 September 2006

Saat Kabar Kematian Menyapa


Belakangan ini berita kematian begitu menyita perhatian saya. Memang sebagian besar bukan orang terdekat saya. Namun siapapun dia, membuat saya merenung mengenai kematian. Ternyata kematian begitu dekat dengan hidup. Bahkan antara kematian dan hidup beda-beda tipis.


 


Dimulai dengan kabar meninggalnya bunda mas Eko yang saya baca hanya beberapa saat setelah ibu saya pulang menginap di rumah kami di Kranggan. Terharu membaca postingan mas Eko. Terharu akan perhatiannya yang sedemikian besar terhadap ibunda, hingga akhir hayatnya. Apakah saya sudah memperhatikan ibu? Menetes air mata saya.


 


Kemudian kabar datang dari Hagi, adik kelas saya di kampus dulu. Kami kebetulan tak pernah bertemu sejak saya lulus tahun 1995 lalu. Tapi belakangan saya dan dia saling ‘jenguk’ di MP. Kematian ibunda Hagi juga menyadarkan saya, betapa kesehatan orang terkasih kita sangat bernilai. Hagi dalam postingannya sempat ‘agak menyesal’ –sorry kalau saya tak salah—mengapa kanker stadium lanjut baru ia ketahui belakangan.


 


Saya katakan melalu PM padanya, tak perlu menyesali yang sudah digariskan ALLAH. Dalam perbincangan by phone sy tak kuasa banyak bercakap, karena begitu emosional ikut merasakan kehilangan dia –ini salah satu kelemahan saya, tak bisa bercakap banyak saat mendengar berita kematian--.


 


Saya jadi teringat ibu yang insya Allah tahun ini akan pergi ke tanah suci untuk berhaji. Ibu saya punya kendala dengan kakinya, rematiknya cukup parah. Bahkan kalau sedang kumat, kakinya bengkak dan tak kuat berjalan. Saya membayangkan bagaimana di tanah suci nanti kalau ibu sakit. Ingin rasanya mendampingi ibu disana…


 


Tapi sabtu lalu saat ibu manasik di asrama haji Pondok Gede, saya lihat meski kelelahan ibu punya semangat luar biasa. Keinginan ibu yang kuat untuk bertamu di rumah Allah, mengalahkan semua kendala kesehatannya. Saya berdo’a semoga di tanah suci nantinya, ibu tak menghadapi kendala apapun.


 


Kemudian hari Jum’at lalu, satu lagi kabar duka menghampiri saya, bunda Inong yang sempat koma karena asma, akhirnya dijemput malaikat maut. Saya tak mengenai dia, bahkan dia bukan pula network saya, tapi saya kerap berkunjung ke situs masaknya. Ah, jadi teringat istri di rumah.


 


Minggu, kabar duka datang dari Nozqa. Bhagol, calon suami yang bakal melamarnya meninggal dunia, dalam usia yang sangat muda. Saya tercenung membayangkan dalam posisi Nozqa, pasti berantakan hati dan pertahanan diri saya.


 


Sebelum kabar dari Nozqa, minggu pagi kabar duka dari kalangan dekat pun mampir, pakde Ariadi –kakak ipar ayah saya-- di Kediri wafat setelah berjuang dengan penyakit strokenya dalam 2 tahun terakhir.  


 


Ah, kematian, ternyata begitu dekat dengan kita. Tak pernah tahu kapan maut bakal menjemput. Sudahkah kita bersiap?

Saat Kabar Kematian Menyapa


Belakangan ini berita kematian begitu menyita perhatian saya. Memang sebagian besar bukan orang terdekat saya. Namun siapapun dia, membuat saya merenung mengenai kematian. Ternyata kematian begitu dekat dengan hidup. Bahkan antara kematian dan hidup beda-beda tipis.


 


Dimulai dengan kabar meninggalnya bunda mas Eko yang saya baca hanya beberapa saat setelah ibu saya pulang menginap di rumah kami di Kranggan. Terharu membaca postingan mas Eko. Terharu akan perhatiannya yang sedemikian besar terhadap ibunda, hingga akhir hayatnya. Apakah saya sudah memperhatikan ibu? Menetes air mata saya.


 


Kemudian kabar datang dari Hagi, adik kelas saya di kampus dulu. Kami kebetulan tak pernah bertemu sejak saya lulus tahun 1995 lalu. Tapi belakangan saya dan dia saling ‘jenguk’ di MP. Kematian ibunda Hagi juga menyadarkan saya, betapa kesehatan orang terkasih kita sangat bernilai. Hagi dalam postingannya sempat ‘agak menyesal’ –sorry kalau saya tak salah—mengapa kanker stadium lanjut baru ia ketahui belakangan.


 


Saya katakan melalu PM padanya, tak perlu menyesali yang sudah digariskan ALLAH. Dalam perbincangan by phone sy tak kuasa banyak bercakap, karena begitu emosional ikut merasakan kehilangan dia –ini salah satu kelemahan saya, tak bisa bercakap banyak saat mendengar berita kematian--.


 


Saya jadi teringat ibu yang insya Allah tahun ini akan pergi ke tanah suci untuk berhaji. Ibu saya punya kendala dengan kakinya, rematiknya cukup parah. Bahkan kalau sedang kumat, kakinya bengkak dan tak kuat berjalan. Saya membayangkan bagaimana di tanah suci nanti kalau ibu sakit. Ingin rasanya mendampingi ibu disana…


 


Tapi sabtu lalu saat ibu manasik di asrama haji Pondok Gede, saya lihat meski kelelahan ibu punya semangat luar biasa. Keinginan ibu yang kuat untuk bertamu di rumah Allah, mengalahkan semua kendala kesehatannya. Saya berdo’a semoga di tanah suci nantinya, ibu tak menghadapi kendala apapun.


 


Kemudian hari Jum’at lalu, satu lagi kabar duka menghampiri saya, bunda Inong yang sempat koma karena asma, akhirnya dijemput malaikat maut. Saya tak mengenai dia, bahkan dia bukan pula network saya, tapi saya kerap berkunjung ke situs masaknya. Ah, jadi teringat istri di rumah.


 


Minggu, kabar duka datang dari Nozqa. Bhagol, calon suami yang bakal melamarnya meninggal dunia, dalam usia yang sangat muda. Saya tercenung membayangkan dalam posisi Nozqa, pasti berantakan hati dan pertahanan diri saya.


 


Sebelum kabar dari Nozqa, minggu pagi kabar duka dari kalangan dekat pun mampir, pakde Ariadi –kakak ipar ayah saya-- di Kediri wafat setelah berjuang dengan penyakit strokenya dalam 2 tahun terakhir.  


 


Ah, kematian, ternyata begitu dekat dengan kita. Tak pernah tahu kapan maut bakal menjemput. Sudahkah kita bersiap?

Saat Kabar Kematian Menyapa


Belakangan ini berita kematian begitu menyita perhatian saya. Memang sebagian besar bukan orang terdekat saya. Namun siapapun dia, membuat saya merenung mengenai kematian. Ternyata kematian begitu dekat dengan hidup. Bahkan antara kematian dan hidup beda-beda tipis.


 


Dimulai dengan kabar meninggalnya bunda mas Eko yang saya baca hanya beberapa saat setelah ibu saya pulang menginap di rumah kami di Kranggan. Terharu membaca postingan mas Eko. Terharu akan perhatiannya yang sedemikian besar terhadap ibunda, hingga akhir hayatnya. Apakah saya sudah memperhatikan ibu? Menetes air mata saya.


 


Kemudian kabar datang dari Hagi, adik kelas saya di kampus dulu. Kami kebetulan tak pernah bertemu sejak saya lulus tahun 1995 lalu. Tapi belakangan saya dan dia saling ‘jenguk’ di MP. Kematian ibunda Hagi juga menyadarkan saya, betapa kesehatan orang terkasih kita sangat bernilai. Hagi dalam postingannya sempat ‘agak menyesal’ –sorry kalau saya tak salah—mengapa kanker stadium lanjut baru ia ketahui belakangan.


 


Saya katakan melalu PM padanya, tak perlu menyesali yang sudah digariskan ALLAH. Dalam perbincangan by phone sy tak kuasa banyak bercakap, karena begitu emosional ikut merasakan kehilangan dia –ini salah satu kelemahan saya, tak bisa bercakap banyak saat mendengar berita kematian--.


 


Saya jadi teringat ibu yang insya Allah tahun ini akan pergi ke tanah suci untuk berhaji. Ibu saya punya kendala dengan kakinya, rematiknya cukup parah. Bahkan kalau sedang kumat, kakinya bengkak dan tak kuat berjalan. Saya membayangkan bagaimana di tanah suci nanti kalau ibu sakit. Ingin rasanya mendampingi ibu disana…


 


Tapi sabtu lalu saat ibu manasik di asrama haji Pondok Gede, saya lihat meski kelelahan ibu punya semangat luar biasa. Keinginan ibu yang kuat untuk bertamu di rumah Allah, mengalahkan semua kendala kesehatannya. Saya berdo’a semoga di tanah suci nantinya, ibu tak menghadapi kendala apapun.


 


Kemudian hari Jum’at lalu, satu lagi kabar duka menghampiri saya, bunda Inong yang sempat koma karena asma, akhirnya dijemput malaikat maut. Saya tak mengenai dia, bahkan dia bukan pula network saya, tapi saya kerap berkunjung ke situs masaknya. Ah, jadi teringat istri di rumah.


 


Minggu, kabar duka datang dari Nozqa. Bhagol, calon suami yang bakal melamarnya meninggal dunia, dalam usia yang sangat muda. Saya tercenung membayangkan dalam posisi Nozqa, pasti berantakan hati dan pertahanan diri saya.


 


Sebelum kabar dari Nozqa, minggu pagi kabar duka dari kalangan dekat pun mampir, pakde Ariadi –kakak ipar ayah saya-- di Kediri wafat setelah berjuang dengan penyakit strokenya dalam 2 tahun terakhir.  


 


Ah, kematian, ternyata begitu dekat dengan kita. Tak pernah tahu kapan maut bakal menjemput. Sudahkah kita bersiap?