Hmm..daripada anak-anak rewel, mendingan ambil pertunjukan selanjutnya, jam 14.40. Masih lama tak apa, yan penting kumpul. Toh jadi ada kesempatan nongkrong di toko buku.
Sebenarnya kami bukanlah bioskop mania. Dulu semasa kuliah saya kerap nonton sekedar refreshing. Namun sejak menikah dan kerja, frekuensi nonton di bioskop saya turun drastis. Kenapa akhirnya kami nonton film ini? Demi anak-anak. Saya ingin mereka juga merasakan pengalaman belajar dari berbagai hal. Dan film salah satu cara kami untuk mengenalkan mereka pada ‘dunia lain’ selain buku dan pengalaman batin lainnya.
Dan tebakan saya sejak awal ternyata benar. Mereka sangat enjoy melihat film ini. Banyak hal yang bisa diambil dari cerita sederhana Garuda ini. Mulai dari arti persahabatan, kerja keras, dan saling membantu. Nilai-nilai yang sangat sederhana dan membumi semacam ini dibutuhkan anak-anak.
Setelah dibombardir dengan aneka hiburan kelas rumahan di tivi yang sangat ‘ajaib’ itu, nonton film ini serasa melihat sebuah gagasan sederhana yang sangat khas anak-anak. Anak-anak seolah melihat dirinya sendiri, yang berani mimpi dan bekerja keras untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Penghargaan akan proses yang saya cermati dari film ini. Karena justru disinilah persoalan yang kerap kita hadapi. Generasi sekarang dianggap tak menyenangi sebuah perjuangan. Senang akan hasil tapi menafikan proses.
Tapi bukankah yang membuat itu semua ya orang dewasa, kita-kita juga.Lihat saja pertunjukan tv di rumah, semuanya menafikan proses. Hidup ini seolah nyaman bener. Tak perlu sekolah bener, toh nanti bisa jadi model, dapat duit banyak, terkenal. Tak perlu jujur kalau memang dengan curang bisa jadi ‘orang’. Wah!
Prihatin saya melihat langkanya tontonan yang bisa menuntun. Memang bukan untuk kita yang dewasa, tapi lebih untuk anak-anak kita. Karena anak-anak kita adalah masa depan kita nantinya. Jika kita tak peduli, jangan pernah mengharap generasi mendatang akan cemerlang.
Film memang hanya bagian kecil dari sebuah persoalan. Tapi film adalah produk budaya yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah bangsa merangkai masa depannya.
Salut karena masih ada orang yang mau bekerja keras memberi sebuah pengajaran melalui film bagi anak-anak. Negeri ini amat sangat langka dengan tontonan yang khas anak-anak, yang memotret mereka sebagai subyek yang memiliki mimpi, cita-cita, harapan akan masa depan. Bukan lagi sebagai obyek perlakuan buruk orang tua, atau jadi super hero yang tak menjejak bumi.
Kalaupun harus mengkritik film ini, mungkin lebih pada kemasan. Entah mengapa Garuda mengambil setting dan menampilkan sosok anak Jakarta lagi. Bukankah cerita anak dari jakarta sudah terlalu sering? Meski tak ada yang salah dengan anak Jakarta, tapi akan lebih menarik (menurut saya) memotret perjuangan anak kampung yang berjuang menjadi pemain bola. Mungkin bisa lebih seru. Toh kisah Laskar Pelangi yang dari Belitung saja bisa menyihir anak kota untuk menonton.
Tapi secara keseluruhan film ini menarik bagi keluarga. Selain nilai-nilai yang saya sebut tadi, ada satu yang juga penting dan belakangan sangat tak dipedulikan yakni nilai patriotisme. Wah, saya sendiri merasa ikut bangga saat menyaksikan tokoh utama Bayu mengenakan kaos berlambang Garuda di dadanya. Adegan yang sangat emosional dan membuat leleh air mata.
Garuda di dadaku…
Garuda Kebanggaanku
Ku yakin hari ini pasti menang…
*tulisan ini ada di Kompasiana.