Rabu, 18 Maret 2009

Ketemu Presiden di KRL

Pagi tadi saat di KRL dari Pondok Cina Depok menuju kantor, tiba-tiba ada seseorang berpakaian batik duduk tepat di depan saya. Wajahnya sangat familiar, setidaknya bagi saya. Empat tahun saya mengenalnya melalui dunia maya, tapi belum sekalipun saya pernah berjumpa di alam nyata. Sederet acara MPID nyaris mempertemukan saya dengan dia, tapi gagal terus karena berbagai sebab.

Padahal saya sudah pernah bertelepon dengan orang satu ini, waktu itu urusan liputan hari perempuan internasional. Kebetulan dia ikut ngurusin kegiatan di komunitasnya. Saya tertarik dengan acaranya dan tim kami waktu itu meliput sebagian kegiatannya. Harusnya saya bisa ketemu, tapi saya harus jaga gawang di kantor dan batallah pertemuan itu.

Baksos MP dan HUT MPID pun sebenarnya beberapa kali saya sudah menyatakan keikut sertaan. Tapi lagi-lagi selalu saja ada kesibukan dan kendala.

Dan hari ini akhirnya saya berhadapan dengan jeng Ari, sang presiden MPID. Agak nervous juga ketemu dedengkot MP, maklum 'beliau' kan presiden sejuta umat, yang punya langkah sangat panjang dan hampir selalu ada di semua agenda acara MPID. Bawaannya sudah pengen minta tanda tangan dan foto bareng saja. Maklum ketemu selebritis. Tapi niatan saya dicegah dengan tatapan beberapa penumpang yang melihat kami ngobrol SKSD gitu.

Ok Ri, semoga ini bukan pertemuan terakhir. Atau sekali waktu undang dong aku wwc di radio.

Selasa, 17 Maret 2009

My Soul's Wandering... - Peluncuran Long Distance Love, di Yogya kota Cinta!

http://imazahra.multiply.com/calendar/item/10012/Akhirnya_Peluncuran_Long_Distance_Love_di_Yogya_kota_Cinta
Akhirnya buku keroyokan Long Distance Love kelar sudah. Launching pertama digelar di Yogyakarta. Kenapa Yogya? Mungkin karena teman2 kontributor buku ini yang paling siap ya yang tinggal di Yogya. Jangan lupa bagi MP-ers yang di Yogya atau kebetulan lagi ada urusan di Yogya monggo bergabung meramaikan. Lumayan dapat info terkini tentang buku ini. Bisa minta tanda tangan pula dengan penulis dan kontributor bukunya. Sudah gitu bisa dapat merchandise menarik.

Rabu, 11 Maret 2009

Jangan Pipis di KRL (KRL Story)

Sejak 2 minggu terakhir saya memutuskan menggunakan moda angkutan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek ke kantor. Lantaran kantor pindah ke tengah kota, sayapun harus menanggalkan zona nyaman saya di taman mini. 5 tahun terakhir saya memang merasakan surga jika pulang-pergi ke kantor. Letak yang dekat, membuat perjalanan ke kantor selalu menyenangkan. Tak pernah terkena macet, karena praktis hanya setengah jam menggunakan sepeda motor.

Saat manajemen memutuskan kantor direlokasi ke tengah kota, hal yang paling mengganggu saya adalah jalanan yang macet. Dari Cibubur nun di timur Jakarta saya harus menerjang banyak kawasan berlabel macet di tengah kota. Membayangkan terjebak macet saat berkendara atau naik bis adalah mimpi buruk.

Sebelumnya, saya pernah mengalami kemacetan lebih dari 6 tahun saat berkantor di kawasan kuningan jakarta selatan. Selama itu harus berangkat lebih pagi untuk bisa sampai tepat waktu. Itupun dengan kondisi tubuh yang keletihan setiba di kantor.

Pulang pun ceritanya tak lebih baik. Alih-alih ingin cepat sampai rumah, biasanya saya terjebak kemacetan di kuningan hingga satu jam. Itu belum termasuk merayap di gatot subroto, tol dalam kota dan jagorawi. Singkat kata, orang macam saya pasti tua di jalan.

Biasanya saya dan juga beberapa kawan punya solusi jitu mengatasi problema kemacetan ibukota, yakni dengan nongkrong di mall atau cafe after office hour. Kita ngobrol ngalor ngidul hingga agak larut menunggu jalanan lengang. Memang cara itu bisa membunuh waktu. Tapi belakangan itu juga bisa membunuh kantong kalau keseringan!

Keputusan menggunakan KRL saya ambil, setelah membandingkan dengan moda angkutan lain. Waktu tempuh jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan bis, angkot, kendaraan pribadi, atau busway sekalipun.

Selama di KRL meski tidak setiap hari dapat duduk, kenyamanan masih saya peroleh. Daya tampungnya yang cukup besar membuat tingkat kepadatan penumpangnya tak separah biskota. Saya yang biasa menumpang KRL AC Ekonomi (biasa disebut AC Eko) tetap segar setiba di kantor. Perjalanan dari stasiun Pondok Cina Depok ke Gondangdia Cuma butuh 40 menit saja. Bandingkan jika menggunakan moda kendaraan pribadi atau angkutan lainnya!

Sayangnya, meski cukup nyaman, KRL AC Eko juga punya cacat. Tak ada satupun fasilitas toilet di dalam kereta api. Jadi jika anda hendak menggunakan KRL Jabodetabek jangan lupa mampir ke toilet dulu sebelum naik kereta. Karena jika tak bisa menahan hajat, alamat bakal tersiksa selama perjalanan.

Perjalanan memang tak seberapa lama, namun kadang bisa menjadi lama dan menyebalkan lantaran ada kerusakan atau gangguan listrik. Kalau sudah begini, tak ada nasehat bijak yang paling ampuh bagi para penumpang, jangan pipis di KRL!! Berabe!

Minggu, 08 Maret 2009

The Road to the Empire; Kisah Takudar Khan Pangeran Muslim Pewaris Mongol

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Sinta Yudisia
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, 2008
Tebal : 573 hal.

Apa yang terpikir mengenai Mongol? Bagi penikmat sejarah Asia Timur mungkin tak terlalu sulit menguraikannya. Karena Mongol yang terletak di daratan Cina, di masa silam punya sejarah panjang kekaisaran.

Dan jika nama Jenghiz Khan disodorkan, pasti lamat-lamat sebagian dari kita merasa sangat mengenalnya. Ya, dialah kaisar Mongol masa lalu yang sangat terkenal. Terkenal bukan hanya lantaran kepemimpinannya yang tangguh, tapi juga kebengisannya.

Namun bagi yang tak terlalu aware dengan Mongolia, pasti akan sulit mengurai sejarah panjang kekaisaran Mongol. Saya termasuk yang tak terlalu mengikuti sejarah Mongol. Itu mengapa membaca buku The Road to the Empire; Kisah Takudar Khan Pangeran Muslim Pewaris Mongol karya Sinta Yudisia, awalnya saya bayangkan akan banyak kerumitan menyertai pemahaman saya yang minim mengenai Mongol.

Apalagi di bagian awal Sinta menggunakan banyak kata yang kurang familiar bagi saya, macam apa itu hooves, tolgoin, shanaavch sampai terleg del. Untungnya Sinta selain menggunakan juga menyisipkan arti kata-kata tersebut. Sehingga saya bisa paham kalau itu adalah bagian busana prajurit Mongol.

Imaji saya pun mulai terbangun. Agak teringat dengan filmnya Yusril Ihza Mahendra tentang Laksamana Cheng Ho. Meski sangat berbeda, tapi setidaknya saya bisa membayangkan dimana bagian busana itu digunakan prajurit Mongol.

Selesai? Enggak juga. Persoalan kedua adalah bagaimana menempatkan pemahaman para tokohnya. Kemiripan nama juga menjadi persoalan bagi saya membedakan satu karakter dengan karakter lain. Misalnya, Ada trio (sayangnya bukan trio macan!) Takudar, Arghun, dan Buzun yang namanya sama diakhiri nama marga Khan. Belum lagi ada nama Albuga dan Tuqluq Timur Khan. Wah, pe-er besar tuh untuk memahaminya.

Pemahaman saya mulai agak cair saat Sinta menceritakan perempuan di sekitar ketiga pangeran macam Almamuchi, Urghana hingga Han Siang. Ternyata peran perempuan-perempuan itu lah yang berhasil membetot perhatian saya lebih mudah. Ada sosok yang setia, ada sosok yang culas, bahkan ada yang siap berkorban demi menyenangkan keluarga dalam hal jodoh.

Melalui tokoh perempuan itulah saya bisa masuk ke akar persoalan sesungguhnya. Dengan caranya bertutur yang sangat detil dan mengalir, Sinta benar-benar tak memberi kesempatan saya melepaskan sedikitpun kisah intrik perebutan kekuasaan di novel ini.

Saya tak bisa membayangkan berapa lama Sinta melakukan riset mendalam mengenai sejarah Mongol beserta tokoh-tokohnya. Karena apa yang tersaji di novel ini bukan saja deretan peristiwa sejarah, namun juga dengan konteks. Sinta berhasil menghadirkan sejarah dengan caranya. Tidak menggurui seperti cara guru sejarah di negeri ini. Tidak juga memaksa kita untuk memahami persoalan dengan cara yang pelik.

Intrik perebutan kekuasaan yang menjadi titik sentral cerita novel ini, seolah menggambarkan situasi yang tengah terjadi di negeri ini. Pemilu dan segala macam perniknya yang kini tengah disiapkan KPU, sebenarnya punya muara yang sama, yakni perebutan kekuasaan. Tinggal bagaimana cara merebut kekuasaan itu. Apakah menggunakan cara yang digunakan Khan bersaudara atau cara ’halus’ yang kita sebut demokrasi.

Penulis mampu membumikan kisahnya dengan aliran bahasa yang ringan, enak dan ritmis. Sehingga lebih dari 500 halaman tak begitu terasa tebalnya. Ia begitu pandai menghadirkan Mongol seolah nyata di hadapan kita. Saya yang semula sangsi bisa menyerap buku ini dengan keminiman pemahaman mengenai Mongol, berani bertaruh siapapun pasti bisa menikmati keindahan bahasa dan cara bertutur Sinta.

Meski ini novel pertama Sinta yang saya baca, saya berani pula memberikan gelar Sinta adalah pencerita yang memesona. Tak salah mengapa buku ini mendapat award sebagai buku fiksi terbaik di Islamic Book Fair 2009 baru-baru ini. Selamat buat Sinta atas kemenangannya.