Minggu, 11 Juli 2010

Jika si Ganteng SMP

Tahun ajaran ini putra sulung kami, M.Ihsaan Ramadhan mulai belajar di sekolah lanjutan. Setelah pindah rayon ke Jakarta dan tak dapat sekolah negeri dekat rumah, akhirnya ia dapat sebuah sekolah MTs Negeri percontohan di kawasan Ciracas, Jakarta Timur. Lumayan jauh dari rumah, setidaknya jika dibandingkan dengan sekolah SD-nya dulu yang cuma 3 kilometer dari rumah.

Letak yang jauh sempat membuat sang bunda ketar-ketir, maklum anak pertama dan cowok satu-satunya. Selama ini ia sekolah cukup bersepeda atau naik angkot seribu perak. Sekarang harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, melewati tol dan terminal bis Kampung Rambutan. Apalagi sekolahnya juga lebih pagi dari kawasan Bekasi yang masuk jam 07.00, sementara di sekolah barunya jam 06.30 WIB.

Setelah saya yakinkan, sang bunda pun mengizinkan. Sebenarnya kekhawatiran sang bunda beralasan karena si sulung harus bersentuhan dengan terminal bis tiap hari. Khawatir terjadi hal-hal tak diinginkan, seperti tindakan kriminal yang kerap terjadi di terminal atau tawuran.

Tapi saya berpendapat, Ihsan harus diberikan pengalaman hidup yang lebih luas. Caranya dengan banyak bersentuhan dengan lingkungan, apapun lingkungan itu. Tujuannya agar ia memperoleh pengalaman hidup, belajar memutuskan sesuatu, dan belajar bertanggung jawab terhadap pilihannya.

Bagi Ihsan ini adalah babak cukup penting dalam hidupnya. Sekali lagi kami memberikan pelajaran kepada dia untuk berani mengambil dan menentukan sebuah keputusan. Ini memang sederhana. Tiap hari ia bakal dihadapkan banyak pilihan. Mulai dari pilihan moda transportasi, rute, sampai pilihan untuk jajan atau bawa makanan dari rumah.

Saya memang mengajarkan pada anak-anak untuk berani mengambil keputusan, meski awalnya berat karena sangat berbeda dengan zona nyaman yang selama ini mereka hadapi. Sekolah jauh dari rumah tentunya butuh perjuangan ekstra, karena mesti bangun lebih awal, berangkat lebih pagi, dan beresiko naik turun kendaraan umum berkali-kali.

Meski kebayang repotnya, saya sengaja menghadapkan Ihsan pada kondisi demikian. Agar ia berpikir bahwa untuk mencapai sesuatu mesti berjuang dari bawah.Tak ada yang instan.

Sebenarnya kalau mau gampang ia bisa saja ikut dengan antar jemput sekolah seperti yang pernah ia ikuti saat SD dulu. Prakltis meski mahal. Relatif aman dan tak perlu naik turun dari rumah ke sekolah. Tapi ia memilih berangkutan umum. Sebuah pilihan yang saya acungi jempol, sebab dengan begitu ia akan banyak berinteraksi dengan segala karakter orang, bertemu orang yang berbeda, dan belajar menempatkan diri dalam berbagai kesempatan dan suasana.


Kamis, 24 Juni 2010

Sekali Lagi Tentang Film Tanah Air Beta

Entah mengapa tiap tahun saya selalu menantikan film produksi Alenia Pictures. Sejak Denias tayang beberapa tahun silam, kemudian diikuti Liburan Seru, saya dan anak-anak pasti menyempatkan nonton bareng. Hanya film King yang tak sempat kami tonton bersama, lantaran bentrok dengan film lain bergenre sama.

Minimnya tontonan 'aman' bagi anak-anak menjadi salah satu alasan. Di tengah hingar bingarnya film Indonesia bergenre komedia seks, hantu dan drama percintaan, film garapan Alenia menjadi berbeda.

Dan liburan tahun ini Alenia merilis film bertajuk  Tanah Air Beta.  Film ini dibintangi Allexandra Gottardo dan Lukman Sardi.  Meski memasang nama besar aktor Lukman Sardi, namun film ini lebih banyak berkisar pada tiga tokoh yakni Tatiana (Allexandra) dan dua bintang cilik yang berperan sebagai Merry (Griffit Patricia) dan Carlo (Yehuda Rumbindi).

Allexandra bermain cukup apik sebagai ibu yang terpisah dari anaknya, Maru lantaran jajak pendapat di Timtim (kini Timor Leste). Ia berhasil melepaskan diri dari sosok selebriti dan tampil apa adanya sebagai warga Timtim yang hidup di pengungsian di NTT. Semula saya underestimate dengan peran Tatiana yang dimainkan Allexandra.

Saya kira dia tak akan bisa berpisah dari raganya yang sangat jelit itu. Namun dugaan saya salah, Allexandra yang putih disulap menjadi legam khas warga Timtim. Meski sebenarnya penampilan fisiknya masih bisa dibuat lebih letih, lebih keras, namun usaha tim produksi Alenia tak mengecewakan lah.

Lalu bagaimana dengan 2 pemain cilik tadi? Saya patut memberi acungan jempol pada tokoh Carlo. Permainannya begitu natural, gerak tubuh dan penjiwaannya juara. Dialah yang menghidupkan film ini sehingga punya 'nyawa'. Tokoh Carlo pula membuat peran Merry menjadi lebih berkilau.

Sebenarnya jalan cerita Tanah Air Beta cukup sederhana. Meski berlatar peristiwa jajak pendapat, namun anda tak akan dibuat berkerut kening menyaksikan kontroversi jajak pendapat dan berpisahnya Timtim dari bumi Indonesia.

Sutradara Ari Sihasale tampaknya sengaja tak mau terlibat dalam persoalan politik yang berat. Ia hanya mengambil latar belakang persoalan politik jajak pendapat dan membingkainya menjadi kisah persahabatan di tengah sulitnya nasib para pengungsi eks Timtim.

Sama dengan film Denias yang dulu banyak mengeksplore keindahan tanah Papua, film inipun masih menampilkan resep serupa. Lansekap Belu NTT yang gersang dibingkai dengan cantiknya dalam film ini. Meski gersang, sutradara mampu memperlihatkan sebuah Indonesia yang lain pada penonton.

Dan saya kira keberhasilan film ini selain memiliki pesan yang kuat pada indahnya persahabatan, juga salah satunya lantaran Ale mampu menyuguhkan wajah lain negeri ini. Ini penting, terutama bagi anak-anak kota besar yang konon lebih tahu wajah Singapura atau Australia dibandingkan dengan wajah negerinya sendiri.

Satu lagi yang penting dari film garapan Alenia adalah concern-nya pada hal-hal berbau nasionalisme. Cinta negeri dan cinta segala hal yang berbau tanah air sendiri selalu kuat ditampilkan Ale dalam film-filmnya. Penggunaan lagu perjuangan dalam film ini jelas merupakan ide jenial. Penonton anak-anak jadi memiliki kenangan akan film ini dari lagunya yang sangat jarang lagi mereka dengar dan nyanyikan.

Kalau harus mengkritik film ini, saya dan mungkin penonton lain agak terganggu dengan adegan cuci tangan dengan sabun yang sampai harus berulang 3 kali. Saya tahu, film ini sejak awal memang disponsori oleh produk sabun kesehatan yang memiliki kampanye cuci tangan dengan sabun. Tapi mengulang adegan cuci tangan dengan sabun hingga tiga kali saya pikir kebangetan. Agak merusak kenyamanan menonton kita.

Senin, 04 Januari 2010

Jembatan UKI Rawan Celaka!

Belum lagi kekagetan kita hilang atas tewasnya Daniel, seorang bocah 4 tahun yang jatuh dari rumah susun Petamburan, Jakarta Pusat, kemarin ada lagi orang yang jatuh dari ketinggian. Seorang lelaki jatuh (lebih tepatnya menjatuhkan diri) dari lantai 4 sebuah mall di Solo.

Berbeda dengan Daniel yang jatuh, kasus kedua diduga kuat adalah kasus bunuh diri. Korban yang memiliki penyakit lambung merasa putus asa dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh. Dan terjun dari ketinggian mall adalah pilihan hidupnya.

Bagi saya kematian yang dipilih lelaki Solo itu sangat konyol. Merasa tak punya lagi pegangan hidup, tak ada yang membantu, maka jalan pintas kematian tragis dipilih. Padahal kalau dia percaya masih ada Tuhan, ceritanya akan lain.

Saya tak hendak membahas fenomena terjun bebas di negeri ini yang belakangan grafiknya naik. Saya justru mau menyoroti banyaknya fasilitas publik yang membahayakan anak-anak, istilahnya unchildren friendly, tidak bersahabat dengan anak.

Contohnya pagi tadi saya temukan di jembatan penyeberangan depan rumah sakit Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Cawang, Jakarta Timur. Ada bagian jembatan yang rusak dan hanya ditutupi selembar seng. Kondisi ini sebenarnya sudah saya dapati sejak lama. Lebih dari sebulan lalu kalau tak salah.

Saya tak bisa bayangkan jika ada seorang anak kecil main-main di jembatan penyeberangan ini. Karena seringkali ada anak-anak keliaran sendirian tanpa pendampingan orang tua di sekitar jembatan. Seng yang digunakan sebagai penutup tidak cukup kuat. Bahkan terkesan rapuh. Jika kita sandari sebentar pasti runtuh.

Wahai pemda DKI Jakarta atau instansi yang berwenang segera ambil tindakan perbaikan. Jangan sampai jatuh korban baru kita semua menyesalinya. Warga harus dilindungi dari kerusakan-kerusakan semacam ini.

Bisa jadi patahnya besi pembatas jembatan ini sebagian adalah karena ulah tangan usil yang tak bertanggung jawab. Tapi membiarkannya seperti sekarang lebih dari sebulan adalah kelalaian. Jika jatuh korban, pemda adalah institusi yang patut dipersalahkan.

Semoga tulisan sederhana ini dibaca dan ditindak lanjuti pegawai Pemda DKI Jakarta.