Senin, 28 Desember 2009

Mendadak Liburan Bandung-Puncak

Kata orang akhir pekan lalu adalah long weekend. Artinya ada beberapa hari yang dirapel jadi satu hari libur bersama. Tapi itu buat mereka yang kerjanya normal, kerja senin-jum'at dengan jam kerja yang jelas.

Nah, bagi saya yang kerjanya abnormal, tak pernah kenal konsep long weekend. Bagi saya weekend sama saja dengan liburan biasa, dengan sedikit kelonggaran aktivitas dan lebih banyak waktu di rumah. Itu saja. 

Kenapa tak ada konsep long weekend bagi saya? Karena biasanya justru di akhir pekan banyak kerjaan sambilan yang harus dilakukan. Anehnya, sabtu istri kerja, dan minggunya giliran saya yang kerja. Benar-benar pasangan yang aneh!

Akhirnya dengan sedikit dadakan kita merancang perjalanan hore ke Bandung dan Puncak. Awalnya cuma pengen ke Bandung. Lantaran tak beroleh hotel karena mendadak dangdut nyarinya, akhirnya diputuskan ke Bandung tetap jadi tapi cuma buat main-main. Nginepnya? Cipanas, di vila milik seorang kawan.

Berangkat pagi sekitar jam 06, saat matahari masih malu-malu hadirnya. Kami langsung ke Lembang. Tujuannya ke Rumah Sosis yang jadi isu nasional karena anak-anak kerap melihatnya di tv.

Kami tak bisa terlalu lama di rumah sosis ini. Permainannya biasa aja, mirip-mirip di Jakarta sana. Apalagi lingkungannya tak alami.

Tujuan selanjutnya ke Kebun Strawberry. Di tempat inilah anak-anak  mendapat tempat bermain yang menyenangkan. Udara yang segar, kebun yang lapang membuat anak-anak ceria.

Buat yang belum pernah kemari, coba deh ke tempat ini. Kapan lagi bermain di kebun sambil bebas metik buah strawberry sendiri.

Selain petik buah strawberry, tempat ini juga punya atraksi permainan lain seperti flying fox, ATV, Jumping Role hingga Water Ball. Permainannya umumnya memang butuh keberanian lebih bagi anak-anak. Saya jamin, anak-anak pasti senang.

Di puncak, selain menginap, kami juga sempat mengunjungi mesjid Atta'awun. Meski berkali-kali ke puncak, baru kali ini dengan sengaja berkunjung ke mesjid ini. Ternyata mesjid ini jadi tujuan wisata banyak kalangan. Selain lokasinya yang keren, ternyata di belakang mesjid ada aliran sungai dari puncak yang dialirkan kemari. Cocok untuk istirahat sejenak sambil berfoto ria. Beberapa pengunjung malah menggelar tikar sambil makan-makan di sisi sungai.

Minggu, 20 Desember 2009

besok ujian, belajar baru seiprit...malam ini kerja pula di kantor....gimana besok deh..

Reuni Setelah 20 Tahun

Sabtu lalu saya hadir di reuni angkatan 89 SMAN 70 Bulungan, Jakarta Selatan. Sekolah yang punya banyak cerita bagi kami alumninya. Sekolah yang terletak di sepenggal jalan Bulungan ini merupakan penggabungan 2 sekolah SMAN 11 dan SMAN 9. Karena sering ribut, akhirnya didamaikan menjadi SMAN 70.

Karena gabungan dua sekolah, sekolah ini menjelma menjadi sekolah 'terbesar' di Indonesia. Bayangkan, dulu satu angkatan bisa 800 siswa!

20 tahun masa yang cukup lama tak bersua kawan seangkatan. Sebagian besar kawan benar-benar saya jumpai lagi setelah 20 tahun, karena selama ini komunikasi hanya lewat email atau telepon.

Ada yang masih tampak seperti terakhir ketemu, namun sebagian besar pastinya sudah berubah. Secara fisik so pasti. Mulai dari size, rambut warna-warni hingga kelakuan yang ‘watt’nya lebih rendah dari jaman dulu.

Meski tak semua hadir, tapi cukup ramai lah reuni akbar pertama angkatan kami ini. Dari 800-an teman seangkatan, saya perkirakan lebih dari 400 orang hadir. Yang datang selain yang mukim di Jabodetabek, juga beberapa dari luar kota, bahkan ada yang dari luar negeri.

Acara hiburannya nyaris gak terlalu penting bagi saya. Kita semua sibuk berhaha-hihi, senyum sana, senyum sini, foto bareng, atau ngemil jajanan kantin yang ngangeni itu.

Yang mengharukan adalah perjumpaan dengan guru-guru. Umumnya mereka sudah berada di usia emas. Pak Julius Jusuf , kepsek 70 era 89 dulu, ternyata tak banyak berubah. Masih seperti dulu, sehat, bugar dan tegas. Wah, mesti banyak belajar dari JJ soal jaga kesehatan dan kebugaran nih, mengingat di usianya yang ke 76 masih tetap terlihat tegap bertenaga.

Beda dengan Pak JJ, pak Amir guru olahraga, yang hadir dalam kondisi sakit. Sepanjang acara ia hanya duduk di kursi rodanya. Meski sakit, saya salut dengan semangat hidupnya. Saya sempat berbincang dengan pak Amir di sela acara. Katanya ia terharu dengan undangan kawan-kawan. Makanya meski kondisi fisiknya tak memungkinkan, ia memaksakan hadir demi melihat anak didiknya sekarang seperti apa.

Saya sendiri perlu memberikan acungan jempol kepada kawan-kawan panitia yang berhasil mempertemukan kita dalam satu forum seperti ini. Di tengah kesibukan kerja masing-masing panitia, akhirnya acara ini berhasil digelar.

Tengkyu guys, sudah bekerja dengan keras. Berkat acara kemarin, beberapa kawan sudah terinspirasi untuk membuat reuni kecil antar kelas.

Minggu, 13 Desember 2009

Angka 13 Pernikahan Kami

Hari ini saya dan istri merayakan 13 tahun usia pernikahan kami. Sebuah usia yang belum ada "apa-apanya" jika dibandingkan mereka yang sudah berhasil mengukir angka perkawinan perak apalagi emas. Kami masih jauh dari itu. Apalagi dari hal pencapaian pengalaman hidup.

Ibarat anak-anak, kami masih banyak belajar. Belajar menjalani hidup pernikahan ini dengan benar. Belajar memahami satu sama lain, belajar menjadi suami, belajar menjadi ayah, dan belajar menjadi muslim yang lebih baik lagi.

Meski baru "13" , bukan berarti tak ada raihan apapun dalam perjalanan hidup pernikahan kami. Yang paling jelas, kami jadi saling mengenal pribadi, memahami kebiasaan-kebiasaan dan tentunya makin sayang dengan pasangan. Bagi kami, itu jauh lebih penting dan bermakna.

Jika mengingat masa 13 tahun silam kadang nyaris tak percaya. Tak seperti kebanyakan pasangan lainnya, kami menikah dengan persiapan yang minim. Maksudnya, jika pasangan lain sudah banyak menabung, punya rumah dan segala materi lain, kami tidak seperti itu.

Kami menikah dengan modal nekat. Dengan acara yang sangat sederhana di Nganjuk Jawa Timur sana. Hanya mengundang saudara, kerabat dan tetangga dekat saja. Benar-benar minimalis. Yang penting sah.

Kami berdua memang orang yang sangat simpel dan realistis. Saat itu kami berpikir, kalau harus menunggu punya ini itu kapan kami bisa mengikatkan diri dalam pernikahan? Pandangan ini memang dianggap aneh sebagian kerabat. Tapi, the show must go on lah. Kami yang menikah maka kami pasti bertanggung jawab pada pilihan kami.

Alhamdulillah usaha dan do'a kami didengar Allah. Pintu rizki dibuka dengan lebar bagi kami. Kami yang semula menumpang tinggal di rumah ortu selepas menikah, akhirnya bisa punya rumah sendiri. Meski mungil kami bangga bisa membeli rumah dari jerih payah sendiri, bukan hadiah atau pemberian.

Setelah itu berturut-turut rizki mengalir, termasuk rizki titipan Allah paling berharga yakni seorang jagoan dan 2 bidadari cantik yang membuat semarak rumah kami.

Kini 13 tahun sudah kami menjejakkan kaki bersama. Jika 14 Desember 1996 bahtera kami hanya berisi dua orang, kini sudah menjelma menjadi 5 orang. Di depan kami sadar perjuangan belumlah berakhir. Naik turun, susah senang, pasti kami alami.

Tapi dengan berlima, insya Allah kami lebih kuat memandang tantangan di depan. Benar kata JK, bersama kita bisa.

Rasa syukur teratas saya ucapkan pada Zat yang Maha Sempurna, Allah SWT. Berkat skenario-Nya lah kami menyatukan diri.

Terima kasih istriku, Ikom, yang sangat mengerti setiap desah nafasku. Ia bisa menjadi kawan, lawan, teman diskusi. Kadang mengademi saat hati gundah. Kadang menjadi penjaga hati saat kelakuan suaminya ini agak gokil.

Terima kasih anak-anakku, Ihsan, Nabila dan Ninis. Kalian adalah alasan terbaik kerja keras kami selama ini.

Untuk kedua ortu dan mertua. Kalian number one deh. Kalau saja tak ada restu dari kalian, entah apa jadinya kami.

Untuk kawan, sahabat, kerabat, terima kasih telah menjadi mata-mata yang sehat bagi hubungan kami. Kami ikut dijaga oleh kalian.

Selasa, 23 Juni 2009

Garuda di Dadaku dan Langkanya Film Anak

AKHIRNYA senin lalu (22 juni) saya bersama 3 anak nonton juga Garuda di Dadaku. Bukan main antusiasme penonton yang ingin menyaksikan film ini. Kami yang datang pukul 11, semula berharap bisa nonton untuk pertunjukan pertama pukul 12.30. Tapi sayang, begitu sampai di loket, pertunjukan pertama hanya menyisakan 3 kursi yang jaraknya terpisah.

Hmm..daripada anak-anak rewel, mendingan ambil pertunjukan selanjutnya, jam 14.40. Masih lama tak apa, yan penting kumpul. Toh jadi ada kesempatan nongkrong di toko buku.

Sebenarnya kami bukanlah bioskop mania. Dulu semasa kuliah saya kerap nonton sekedar refreshing. Namun sejak menikah dan kerja, frekuensi nonton di bioskop saya turun drastis. Kenapa akhirnya kami nonton film ini? Demi anak-anak. Saya ingin mereka juga merasakan pengalaman belajar dari berbagai hal. Dan film salah satu cara kami untuk mengenalkan mereka pada ‘dunia lain’ selain buku dan pengalaman batin lainnya.

Dan tebakan saya sejak awal ternyata benar. Mereka sangat enjoy melihat film ini. Banyak hal yang bisa diambil dari cerita sederhana Garuda ini. Mulai dari arti persahabatan, kerja keras, dan saling membantu. Nilai-nilai yang sangat sederhana dan membumi semacam ini dibutuhkan anak-anak.

Setelah dibombardir dengan aneka hiburan kelas rumahan di tivi yang sangat ‘ajaib’ itu, nonton film ini serasa melihat sebuah gagasan sederhana yang sangat khas anak-anak. Anak-anak seolah melihat dirinya sendiri, yang berani mimpi dan bekerja keras untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Penghargaan akan proses yang saya cermati dari film ini. Karena justru disinilah persoalan yang kerap kita hadapi. Generasi sekarang dianggap tak menyenangi sebuah perjuangan. Senang akan hasil tapi menafikan proses.

Tapi bukankah yang membuat itu semua ya orang dewasa, kita-kita juga.Lihat saja pertunjukan tv di rumah, semuanya menafikan proses. Hidup ini seolah nyaman bener. Tak perlu sekolah bener, toh nanti bisa jadi model, dapat duit banyak, terkenal. Tak perlu jujur kalau memang dengan curang bisa jadi ‘orang’. Wah!

Prihatin saya melihat langkanya tontonan yang bisa menuntun. Memang bukan untuk kita yang dewasa, tapi lebih untuk anak-anak kita. Karena anak-anak kita adalah masa depan kita nantinya. Jika kita tak peduli, jangan pernah mengharap generasi mendatang akan cemerlang.

Film memang hanya bagian kecil dari sebuah persoalan. Tapi film adalah produk budaya yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah bangsa merangkai masa depannya.

Salut karena masih ada orang yang mau bekerja keras memberi sebuah pengajaran melalui film bagi anak-anak. Negeri ini amat sangat langka dengan tontonan yang khas anak-anak, yang memotret mereka sebagai subyek yang memiliki mimpi, cita-cita, harapan akan masa depan. Bukan lagi sebagai obyek perlakuan buruk orang tua, atau jadi super hero yang tak menjejak bumi.

Kalaupun harus mengkritik film ini, mungkin lebih pada kemasan. Entah mengapa Garuda mengambil setting dan menampilkan sosok anak Jakarta lagi. Bukankah cerita anak dari jakarta sudah terlalu sering? Meski tak ada yang salah dengan anak Jakarta, tapi akan lebih menarik (menurut saya) memotret perjuangan anak kampung yang berjuang menjadi pemain bola. Mungkin bisa lebih seru. Toh kisah Laskar Pelangi yang dari Belitung saja bisa menyihir anak kota untuk menonton.

Tapi secara keseluruhan film ini menarik bagi keluarga. Selain nilai-nilai yang saya sebut tadi, ada satu yang juga penting dan belakangan sangat tak dipedulikan yakni nilai patriotisme. Wah, saya sendiri merasa ikut bangga saat menyaksikan tokoh utama Bayu mengenakan kaos berlambang Garuda di dadanya. Adegan yang sangat emosional dan membuat leleh air mata.

Garuda di dadaku…

Garuda Kebanggaanku

Ku yakin hari ini pasti menang…

*tulisan ini ada di Kompasiana.

Kamis, 04 Juni 2009

Ada kabar menarik dari tetangga sebelah

Ada kabar menarik dari tetangga sebelah. Kompasiana.com dan Bank Indonesia menggelar lomba IB Blogger Competition. Mau ikutan ? Baca infonya di bawah ini.

Kompasiana Gelar iB Blogger Competition!

Mulai minggu depan, Kompasiana akan menggelar satu lomba tulisan dengan tajuk atau tema khusus, yaitu seputar Perbankan Syariah. Lomba ini resminya bernama iB Blogger Competition.

Dalam lomba yang rencananya akan digelar selama 6 bulan ini, peserta bebas mengirimkan tulisan apapun, tapi harus sesuai dengan tema yang diberikan. Rencananya ada 10 tema yang bisa dipilih, dan semuanya berbicara seputar perbankan syariah.

Yup! Seperti kita ketahui bersama, perbankan syariah dalam dasawarsa terakhir memang semakin populer dan terus diadopsi oleh banyak bank-bank besar di Indonesia. Dan kehadirannya antara lain ditandai dengan logo iB Perbankan Syariah di setiap kantor cabang bank syariah.

Lomba iB Blogger Competition sendiri tidak hanya diperuntukkan bagi para kompasianer (warga kompasiana). Semua orang boleh ikut, termasuk kalangan pelajar, mahasiswa, akademisi, ibu rumah tangga hingga karyawan perkantoran ataupun pegawai negeri. Pokoknya, siapapun yang punya minat atau penasaran dengan Perbankan Syariah bisa langsung kirim tulisan untuk diikutkan dalam lomba iB Blogger Competition.

Syaratnya harus punya blog pribadi, baik domain berbayar maupun blog gratisan lainnya. Yang tidak punya blog tapi punya account di situs jejaring sosial Facebook dan Friendster juga boleh ikut, dengan pertimbangan di kedua situs itu pengguna juga bisa ngeblog menggunakan fitur yang ada. Tapi karena namanya iB Blogger Competition, akan lebih afdhol kalau kita punya blog pribadi.

Setelah itu, calon peserta harus register di microsite lomba dan bergabung jadi warga Kompasiana. Soalnya, artikel yang diikutkan dalam lomba akan tayang di Kompasiana dan bebas dibaca dan dikomentari oleh kompasianer lainnya. Tapi sebelum diposting di Kompasiana, peserta wajib menayangkan karya tulisnya di blog, Facebook atau Frindster masing-masing.

Kalau mau tahu ketentuan lomba dan ketentuan teknis lengkapnya, tunggu minggu depan ya….

Trus, soal hadiah gimana? Pertama, perlu diinfo bahwa lomba ini dibagi jadi dua periode. Karena diadakan dalam dua tahap, otomatis akan ada dua kali pemilihan pemenang untuk tiap periode. Total akan ada 12 orang pemenang lomba, masing-masing untuk 1 Tulisan Terbaik dan 5 Tulisan Finalis.

Tulisan Terbaik berhak atas hadiah sebesar Rp. 5 juta plus marchendise, sedangkan lima Tulisan Finalis  masing-masing akan mendapatkan hadiah sebesar Rp. 1 juta.

Nantinya, Kompasiana berusaha menjadikan kegiatan lomba menulis semacam ini sebagai kegiatan rutin. Tujuannya adalah untuk mempercepat penyebaran wabah ngeblog di seluruh kawasan Indonesia.

Jadi, sebelum lomba ini resmi dirilis minggu depan, rekan-rekan bisa mulai mengumpulkan bahan tulisan, termasuk mengingat kembali pengalaman yang pernah dialami seputar Perbankan Syariah.

And… the good news is, setiap orang bisa mengirimkan artikel sebanyak-banyaknya… Jadi kesempatan menang juga semakin besar…. (Iskandar Z)

Catatan:

1. Postingan ini akan terus dipasang secara berkala setiap hari agar Kompasianers menjadi maklum adanya. Silakan sebarkan atau link ke berbagai komunitas blogger seluruh Nusantara, siapa tahu ada yang tertantang!

2. Kompetisi ini akan terus digelar dengan hadiah menarik dan diharapkan iB Blogger Competition ini dapat dilaksanakan minimal dua kali dalam satu tahun.

3. Kompasiana adalah media dimana para penulis menunjukkan eksistentinya. Jadi, biasakanlah menulis dengan jati diri sebenarnya (bukan nama samaran) dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sopan, baik dan benar.


Kamis, 28 Mei 2009

Long Distance Love

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Ima Zahra, dkk
Menikah tapi berjauhan? Hmm…saya kok ngeri membayangkannya. Saya, istri dan ketiga buah hati kami punya derajat ketergantungan yang cukup besar satu sama lain, sehingga mendengar cerita perpisahan bak mengalami mimpi buruk.

Meski tak mengalami langsung, adik saya ternyata memilih menjadi penganut Long Distance Love bersama sang suami. Kini ia bersama 2 anaknya terpaksa berjauhan dengan suami yang menimba ringgit di Penang Malaysia.

Saya melihat sendiri bagaimana sulitnya adik saya menjalani hari-harinya jauh dari suami. Apalagi ia juga bekerja, alhasil untuk urusan rumah sehari-hari ia tak mampu menghandle-nya seorang diri, hingga terpaksa hijrah ke rumah ortu.

Memang baru setahunan ia menjalani hubungan jarak jauh, namun kelihatan betapa tidak menyenangkannya terpisah negara. Entah sudah berapa rupiah mereka harus keluarkan untuk merajut rindu. Saling berkunjung, membengkaknya biaya telepon, sms, hingga internet adalah harga yang harus dibayar.

Cerita semacam itu akan banyak kita temukan dalam buku Long Distance Love terbitan Lingkar Pena Publishing House. Buku keroyokan 25 penulis ini menghadirkan realita cerita dari para pelaku hubungan jarak jauh. Ada sedih, nelangsa, lucu hingga yang menguras air mata.

Sejak awal pembaca diajak menaiki roller coaster emosi para penulisnya. Seperti Imazahra yang sebagian besar usia perkawinannya hingga kini dijalani dengan ber-LDL dengan sang suami. Atau kisah TKI yang harus menerima kenyataan diduakan oleh sang suami begitu pulang di tanah air. Perjuangannya mencari uang di luar negeri seolah tak dihargai oleh sang suami yang memilih menikah kembali hanya dengan dalih k-e-s-e-p-i-a-n.

Dari deretan penulis hanya ada 4 penulis pria, sisanya wanita. Terbayang seperti apa warnai buku ini. Yang menarik sebenarnya adalah menelisik bagaimana kaum pria memandang LDL. Ada yang hancur-hancuran hanya karena ditinggal berjauhan dengan anak, hingga ada yang kerap disindir lantaran mengijinkan sang istri berjauhan menempuh pendidikan di luar negeri.

Tapi ada yang menarik yang ditulis oleh Vina. Ia menuliskan sedikit kata hati sang suami menjalani hari-harinya berjauhan dengan keluarga. Ia mengibaratkan hubungan mereka sebagai setrikaan. Ada kalanya ia harus bergeser ke Jakarta, kadang ke Bandung hanya untuk membuat rajutan cinta keluarga mereka licin.

Sebuah pilihan sulit bagi mereka berdua, tapi mereka jalani sebagai harga sebuah perjuangan hidup. Apalagi mereka punya mimpi untuk pensiun dini, sehingga formula LDL untuk sementara mereka pilih.

Sayangnya, tulisan versi lelaki ini tidak dibuat langsung oleh sang lelaki. Sang suami menitipkan ceritanya untuk diolah oleh sang istri. Saya dan mungkin pembaca lainnya jadi tak menangkap emosi dari sang suami dalam menjalani hari-harinya terpisah dari keluarga. Yang tergambar hanya kesenangan karena tak ada yang mencereweti kalau pulang malam, atau bisa begadang bebas menyelesaikan tugas kantor. Tapi bagaimana beratnya LDL tak tergambarkan. Padahal akan sangat menarik jika tergali.

Bagi yang belum membaca buku ini, segeralah beli dan baca buku penting ini. Oya buku ini sudah dicetak ulang. Jadi jangan sampai kehabisan!

Rabu, 20 Mei 2009

Ikutan Kompasiana Blogshop Yuk!

Nge-blog apaan tuh? Mau nge-blog tapi bingung memulai? Atau sudah nge-blog tapi kok tak ada 'tamu' yang berkunjung ke rumah maya kita? Atau mau jadi seleb dunia maya seperti ini, itu, atau yang ini?

Semua pertanyaan itu bakal terjawab tuntas jika mengikuti ajang Kompasiana Blogshop: Kiat Cepat Menulis Cepat. Sebuah workshop pengenalan dunia blogging yang digelar Kompasiana. Catat baik-baik tanggalnya, 30 Mei 2009, mulai pukul 10.00-14.00 WIB. Tempatnya di ruang pusdiklat Kompas Gramedia Unit II lantai 5, jalan Palmerah Selatan 22-28 Jakarta. Ingin tahu info lengkapnya, mampir saja kemari.

Ajang ini terbuka bagi pelajar dan mahasiswa, dan karena tempatnya terbatas, segera catatkan diri anda, teman, adik, ponakan sebagai salah satu peserta. Di ajang ini para peserta akan dibimbing oleh dua blogger kondang, Pepih Nugraha --wartawan Kompas dan juga pengasuh Kompasiana, serta Iskandar Zulkarnaen, blogger Kompasiana.

Mengapa Kompasiana menggelar ajang ini? Karena para blogger Kompasiana ingin menularkan semangat berbagi, semangat menyebarluaskan sebanyak mungkin ide, ke sebanyak mungkin kalangan. Dan para peserta akan dibimbing menulis cepat dengan cara yang cepat. Istilah kerennya "Learning by blogging".

Blog dan dunia maya memang tumbuh pesat di seluruh dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Tiap hari entah berapa ribu orang membuat blog baru. Mengapa orang begitu kecanduan nge-blog? Banyak hal yang bisa menjawab pertanyaan sederhana ini. Salah satunya adalah dampak yang ditimbulkan akibat nge-blog adalah ruarrrrr biasa.....

Tak percaya? Buktikan sendiri. Dan rasakan kedahsyatannya!

Rabu, 29 April 2009

Yuk Jadi Duta Baca!


http://www.majalahbravo.com/home/images/stories/big-readstory.jpg
Bagi yang suka baca atau mendongeng, coba ikutan ajang ini. Mudah dan menarik hadiahnya. 10 finalis akan diajak keliling Indonesia sebagai duta baca.

Yuk ikutan, mumpung masih ada waktu.

Kematian

Belakangan saya kerap mendengar berita kematian teman dan sahabat. Kemarin dulu saya dapat kabar kawan SD saya ternyata telah meninggal dunia lantaran sakit. Saya dapat kabarnya melalui jejaring Facebook.

Kemarin saya kembali mendapat kabar teman SD saya yang semasa kecil cukup dekat, ternyata juga telah pergi mendahului. Narkoba menjadi penyebab meninggalnya. Duh, sedih saya mendengar kabar itu. Karena dia pernah sangat dekat dengan saya di SD maupun SMP. 

Semasa kecil dulu saya kerap main ke rumahnya di Kebayoran Lama untuk membaca komik-komik Tintin koleksinya. Jika teman yang lain datang untuk melihat film Video, saya justru berkutat dengan komik-komik yang cukup banyak dikoleksinya.

Terakhir, saya mendapat kabar seorang kawan wartawan Kompas , Bambang Wahyu meninggal dunia setelah lebih setahun berjuang dari penyakit strokenya. Saya tak terlalu mengenal secara pribadi dengan BW, begitu inisial dan panggilannya, tapi saya adalah pembaca berita-beritanya saat dia ditempatkan di desk hukum dan HAM. Tulisannya lugas dan sarat data.

Di lapangan, BW adalah sosok periang, mudah bergaul dan menyenangkan. Saya justru lebih mengenal istrinya, Tingka Adiati saat dulu sama-sama di lapangan. Tingka bekerja untuk Indosiar, saya di Kuningan. Semoga Tingka dan keluarga tabah menghadapi ujian ini.

Apa yang bisa direnungkan dari kematian? Selain bahwa itu adalah rahasia ALLAH, kematian adalah sebuah giliran. Siapa yang bisa mengelak dari kematian? Presiden, penguasa, politisi, pengusaha, orang biasa, pengemis, atau artis? Semua tak  akan luput dari panggilan kematian. Tinggal bagaimana kita menyikapi sebuah kematian.

Apakah anda pernah memikirkan kematian?

Rabu, 18 Maret 2009

Ketemu Presiden di KRL

Pagi tadi saat di KRL dari Pondok Cina Depok menuju kantor, tiba-tiba ada seseorang berpakaian batik duduk tepat di depan saya. Wajahnya sangat familiar, setidaknya bagi saya. Empat tahun saya mengenalnya melalui dunia maya, tapi belum sekalipun saya pernah berjumpa di alam nyata. Sederet acara MPID nyaris mempertemukan saya dengan dia, tapi gagal terus karena berbagai sebab.

Padahal saya sudah pernah bertelepon dengan orang satu ini, waktu itu urusan liputan hari perempuan internasional. Kebetulan dia ikut ngurusin kegiatan di komunitasnya. Saya tertarik dengan acaranya dan tim kami waktu itu meliput sebagian kegiatannya. Harusnya saya bisa ketemu, tapi saya harus jaga gawang di kantor dan batallah pertemuan itu.

Baksos MP dan HUT MPID pun sebenarnya beberapa kali saya sudah menyatakan keikut sertaan. Tapi lagi-lagi selalu saja ada kesibukan dan kendala.

Dan hari ini akhirnya saya berhadapan dengan jeng Ari, sang presiden MPID. Agak nervous juga ketemu dedengkot MP, maklum 'beliau' kan presiden sejuta umat, yang punya langkah sangat panjang dan hampir selalu ada di semua agenda acara MPID. Bawaannya sudah pengen minta tanda tangan dan foto bareng saja. Maklum ketemu selebritis. Tapi niatan saya dicegah dengan tatapan beberapa penumpang yang melihat kami ngobrol SKSD gitu.

Ok Ri, semoga ini bukan pertemuan terakhir. Atau sekali waktu undang dong aku wwc di radio.

Selasa, 17 Maret 2009

My Soul's Wandering... - Peluncuran Long Distance Love, di Yogya kota Cinta!

http://imazahra.multiply.com/calendar/item/10012/Akhirnya_Peluncuran_Long_Distance_Love_di_Yogya_kota_Cinta
Akhirnya buku keroyokan Long Distance Love kelar sudah. Launching pertama digelar di Yogyakarta. Kenapa Yogya? Mungkin karena teman2 kontributor buku ini yang paling siap ya yang tinggal di Yogya. Jangan lupa bagi MP-ers yang di Yogya atau kebetulan lagi ada urusan di Yogya monggo bergabung meramaikan. Lumayan dapat info terkini tentang buku ini. Bisa minta tanda tangan pula dengan penulis dan kontributor bukunya. Sudah gitu bisa dapat merchandise menarik.

Rabu, 11 Maret 2009

Jangan Pipis di KRL (KRL Story)

Sejak 2 minggu terakhir saya memutuskan menggunakan moda angkutan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek ke kantor. Lantaran kantor pindah ke tengah kota, sayapun harus menanggalkan zona nyaman saya di taman mini. 5 tahun terakhir saya memang merasakan surga jika pulang-pergi ke kantor. Letak yang dekat, membuat perjalanan ke kantor selalu menyenangkan. Tak pernah terkena macet, karena praktis hanya setengah jam menggunakan sepeda motor.

Saat manajemen memutuskan kantor direlokasi ke tengah kota, hal yang paling mengganggu saya adalah jalanan yang macet. Dari Cibubur nun di timur Jakarta saya harus menerjang banyak kawasan berlabel macet di tengah kota. Membayangkan terjebak macet saat berkendara atau naik bis adalah mimpi buruk.

Sebelumnya, saya pernah mengalami kemacetan lebih dari 6 tahun saat berkantor di kawasan kuningan jakarta selatan. Selama itu harus berangkat lebih pagi untuk bisa sampai tepat waktu. Itupun dengan kondisi tubuh yang keletihan setiba di kantor.

Pulang pun ceritanya tak lebih baik. Alih-alih ingin cepat sampai rumah, biasanya saya terjebak kemacetan di kuningan hingga satu jam. Itu belum termasuk merayap di gatot subroto, tol dalam kota dan jagorawi. Singkat kata, orang macam saya pasti tua di jalan.

Biasanya saya dan juga beberapa kawan punya solusi jitu mengatasi problema kemacetan ibukota, yakni dengan nongkrong di mall atau cafe after office hour. Kita ngobrol ngalor ngidul hingga agak larut menunggu jalanan lengang. Memang cara itu bisa membunuh waktu. Tapi belakangan itu juga bisa membunuh kantong kalau keseringan!

Keputusan menggunakan KRL saya ambil, setelah membandingkan dengan moda angkutan lain. Waktu tempuh jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan bis, angkot, kendaraan pribadi, atau busway sekalipun.

Selama di KRL meski tidak setiap hari dapat duduk, kenyamanan masih saya peroleh. Daya tampungnya yang cukup besar membuat tingkat kepadatan penumpangnya tak separah biskota. Saya yang biasa menumpang KRL AC Ekonomi (biasa disebut AC Eko) tetap segar setiba di kantor. Perjalanan dari stasiun Pondok Cina Depok ke Gondangdia Cuma butuh 40 menit saja. Bandingkan jika menggunakan moda kendaraan pribadi atau angkutan lainnya!

Sayangnya, meski cukup nyaman, KRL AC Eko juga punya cacat. Tak ada satupun fasilitas toilet di dalam kereta api. Jadi jika anda hendak menggunakan KRL Jabodetabek jangan lupa mampir ke toilet dulu sebelum naik kereta. Karena jika tak bisa menahan hajat, alamat bakal tersiksa selama perjalanan.

Perjalanan memang tak seberapa lama, namun kadang bisa menjadi lama dan menyebalkan lantaran ada kerusakan atau gangguan listrik. Kalau sudah begini, tak ada nasehat bijak yang paling ampuh bagi para penumpang, jangan pipis di KRL!! Berabe!

Minggu, 08 Maret 2009

The Road to the Empire; Kisah Takudar Khan Pangeran Muslim Pewaris Mongol

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Sinta Yudisia
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, 2008
Tebal : 573 hal.

Apa yang terpikir mengenai Mongol? Bagi penikmat sejarah Asia Timur mungkin tak terlalu sulit menguraikannya. Karena Mongol yang terletak di daratan Cina, di masa silam punya sejarah panjang kekaisaran.

Dan jika nama Jenghiz Khan disodorkan, pasti lamat-lamat sebagian dari kita merasa sangat mengenalnya. Ya, dialah kaisar Mongol masa lalu yang sangat terkenal. Terkenal bukan hanya lantaran kepemimpinannya yang tangguh, tapi juga kebengisannya.

Namun bagi yang tak terlalu aware dengan Mongolia, pasti akan sulit mengurai sejarah panjang kekaisaran Mongol. Saya termasuk yang tak terlalu mengikuti sejarah Mongol. Itu mengapa membaca buku The Road to the Empire; Kisah Takudar Khan Pangeran Muslim Pewaris Mongol karya Sinta Yudisia, awalnya saya bayangkan akan banyak kerumitan menyertai pemahaman saya yang minim mengenai Mongol.

Apalagi di bagian awal Sinta menggunakan banyak kata yang kurang familiar bagi saya, macam apa itu hooves, tolgoin, shanaavch sampai terleg del. Untungnya Sinta selain menggunakan juga menyisipkan arti kata-kata tersebut. Sehingga saya bisa paham kalau itu adalah bagian busana prajurit Mongol.

Imaji saya pun mulai terbangun. Agak teringat dengan filmnya Yusril Ihza Mahendra tentang Laksamana Cheng Ho. Meski sangat berbeda, tapi setidaknya saya bisa membayangkan dimana bagian busana itu digunakan prajurit Mongol.

Selesai? Enggak juga. Persoalan kedua adalah bagaimana menempatkan pemahaman para tokohnya. Kemiripan nama juga menjadi persoalan bagi saya membedakan satu karakter dengan karakter lain. Misalnya, Ada trio (sayangnya bukan trio macan!) Takudar, Arghun, dan Buzun yang namanya sama diakhiri nama marga Khan. Belum lagi ada nama Albuga dan Tuqluq Timur Khan. Wah, pe-er besar tuh untuk memahaminya.

Pemahaman saya mulai agak cair saat Sinta menceritakan perempuan di sekitar ketiga pangeran macam Almamuchi, Urghana hingga Han Siang. Ternyata peran perempuan-perempuan itu lah yang berhasil membetot perhatian saya lebih mudah. Ada sosok yang setia, ada sosok yang culas, bahkan ada yang siap berkorban demi menyenangkan keluarga dalam hal jodoh.

Melalui tokoh perempuan itulah saya bisa masuk ke akar persoalan sesungguhnya. Dengan caranya bertutur yang sangat detil dan mengalir, Sinta benar-benar tak memberi kesempatan saya melepaskan sedikitpun kisah intrik perebutan kekuasaan di novel ini.

Saya tak bisa membayangkan berapa lama Sinta melakukan riset mendalam mengenai sejarah Mongol beserta tokoh-tokohnya. Karena apa yang tersaji di novel ini bukan saja deretan peristiwa sejarah, namun juga dengan konteks. Sinta berhasil menghadirkan sejarah dengan caranya. Tidak menggurui seperti cara guru sejarah di negeri ini. Tidak juga memaksa kita untuk memahami persoalan dengan cara yang pelik.

Intrik perebutan kekuasaan yang menjadi titik sentral cerita novel ini, seolah menggambarkan situasi yang tengah terjadi di negeri ini. Pemilu dan segala macam perniknya yang kini tengah disiapkan KPU, sebenarnya punya muara yang sama, yakni perebutan kekuasaan. Tinggal bagaimana cara merebut kekuasaan itu. Apakah menggunakan cara yang digunakan Khan bersaudara atau cara ’halus’ yang kita sebut demokrasi.

Penulis mampu membumikan kisahnya dengan aliran bahasa yang ringan, enak dan ritmis. Sehingga lebih dari 500 halaman tak begitu terasa tebalnya. Ia begitu pandai menghadirkan Mongol seolah nyata di hadapan kita. Saya yang semula sangsi bisa menyerap buku ini dengan keminiman pemahaman mengenai Mongol, berani bertaruh siapapun pasti bisa menikmati keindahan bahasa dan cara bertutur Sinta.

Meski ini novel pertama Sinta yang saya baca, saya berani pula memberikan gelar Sinta adalah pencerita yang memesona. Tak salah mengapa buku ini mendapat award sebagai buku fiksi terbaik di Islamic Book Fair 2009 baru-baru ini. Selamat buat Sinta atas kemenangannya.

Sabtu, 28 Februari 2009

Akhirnya Jadi Roker!

Pagi tadi KRL ekonomi tiba di stasiun Pondok Cina Depok. Tergesa saya melangkahkan kaki menuju kereta yang baru tiba. Ups...dari luar kuamati isi gerbong..wah penuh! Beberapa penumpang berdiri bersinggungan, berdesakan. Langkah yang tadi ringan perlahan berhenti. Sayapun mundur teratur.

Ternyata saya tak punya cukup nyali ikut berdesakan dalam gerbong KRL Jabotabek. Saya memilih balik kanan menukar tambah tiket yang cuma 1.500 perak itu dengan tiket AC ekonomi yang 6 ribu perak.

Meski diawal tak dapat tempat duduk, jelas kereta AC jauh lebih nyaman. Penumpang masih bisa berdiri dengan nyaman sambil berpegangan tentunya. Di kereta ini tak ada pengasong atau pengamen. Tapi kalau pencopet? Entahlah.

Ini merupakan hari pertama saya jadi anak Roker, alias rombongan kereta. Kepindahan  kantor dari taman mini ke kawasan kebon sirih, memaksa saya mencari moda angkutan yang paling cepat dan nyaman.

Setelah 2 hari mencoba menggunakan motor, akhirnya saya memilih menjadi 'roker'. Bukan apa-apa, naik motor melelahkan, 1,5 jam dari rumah membuat pegal badan. Apalagi rute yang saya lalui menuju kantor lumayan macet dan padat. Meliuk-liuk diantara kerumunan kemacetan butuh konsentrasi ekstra, beberapa kali saya nyaris ketabrak bis. Itulah mengapa akhirnya saya menggunakan kereta api.

Selain relatif murah dan nyaman, naik kereta menghemat waktu saya di jalan. hanya 40 menit dari Depok ke kantor. Turun dari stasiun Gondangdia tinggal jalan kaki ke kantor. Gimana nggak enak?? 

Selasa, 24 Februari 2009

I Hate Facebook!

Eits, itu bukan perkataan saya lho! Itu adalah kejengkelan seorang kawan yang sempat sempat curhat. Ia kesal dan memutuskan ‘membunuh’ account facebooknya. Lho, kok segitunya?

Dia jelaskan semuanya. Ia terlibat pertengkaran dengan sang suami lantaran facebook. Rupanya sang suami di account facebooknya tak mencantumkan status hubungan mereka yang sudah setahun menikah. Sudah gitu tak ada satupun foto mereka berdua yang dipajang sang suami. Justru foto sang suami yang sedang gaul dengan kawan-kawan ceweknya yang banyak dipajang.

Karena merasa tak dihargai sang suami, akhirnya kawan saya tadi menutup account facebooknya. Agak aneh menurut saya, karena dia dikenal sebagai anak yang gaul. Menutup account berarti memutus rangkai pertemanan dengan kawan-kawan gaulnya. Karena suka tidak suka, situs buku wajah ini menjadi ’tempat’ termudah untuk saling sapa saat ini.

Barangkali kawan saya yang satu itu adalah korban kesekian dari fenomena facebook yang mewabah akhir-akhir ini. Sebelumnya saya juga pernah dengar kabar ada pasangan yang bercerai gara-gara facebook. Sang istri marah besar lantaran status sang suami masih dipajang single di facebook. Akibatnya, banyak gadis yang mengajaknya kencan. Dasar sang suami memang playboy, terbongkarlah semua perselingkuhannya. Ujung-ujungnya sang istri memilih bercerai.

Wah, sedrastis itukah dampak sebuah situs pertemanan?

Tak dapat dipungkiri keberadaan facebook membuat banyak kalangan di dunia seperti terkena sindroma baru. Mereka yang tadinya gaptek dan ogah bersentuhan dengan internet, karena melihat trend facebook memaksakan diri masuk dalam dinamika situs pertemanan ini. Bagi mereka yang terbisa memilah informasi pribadi yang sifatnya publik dan mana yang privat, tentunya tak terlalu bermasalah saat harus ’menelanjangi’ atau ’ditelanjangi’ dirinya di facebook.

Tapi bagi mereka yang introvert, yang kerap menyimpan rapat informasi pribadinya, situs semacam facebook memang merepotkan. Karena nyaris tak ada ruang untuk bersembunyi dari publik. Bayangkan, meski kita hanya memberikan data yang paling minimal, seperti nama, dan alamat email sekalipun. Tiba-tiba ada kawan lama yang mengenali kita dan mengirimkan foto-foto jadul. Mungkin maksud di pengirim hanya untuk nostalgia dan lucu-lucuan. Tapi kemudian bisa jadi si penerima merasa ditelanjangi, tatkala banyak komentar mengenai behind the foto yang muncul.

Sekali lagi, teknologi maju seperti internet memang butuh kedewasaan tersendiri dari penggunanya. Menyalahkan internet atau situs pertemanan maya saat muncul persoalan adalah tidak bijak. Karena bangaimana pun juga semua kembali ke masing-masing individu.

Internet dan juga situs pertemanan lainnya hanyalah produk teknologi yang memudahkan manusia. Manusialah yang harusnya mengendalikan itu semua, bukan manusia yang takluk pada teknologi.

Anehnya, meski Facebook dipersoalkan akhir-akhir ini, MP kok gak pernah ya? Atau ada cerita seputar MP yang gak muncul ke permukaan?

Senin, 26 Januari 2009

Sandal Jepit Cinta

Apa pemberian orang yang paling berharga menurut anda? Pasti jawabannya barang mahal dan antik, bernilai tinggi. Barang itu bisa berupa permata, pakaian, sepatu, atau yang memorize sifatnya.

Tapi, pernahkah anda menerima sandal jepit, dan anda begitu menyayanginya? Saya agak sangsi sebagian kita sangat sayang dengan benda yang biasa diinjak ke kamar mandi itu.

Minggu malam, Ihsan anak sulung saya terlihat sangat terpukul lantaran kehilangan sandal jepitnya di mushola perumahan kami. Ia menangis terisak-isak, karena sandal yang usianya baru sekitar 3 mingguan itu, hilang saat lomba tahun baru islam di mushola sore tadi.

Sandal jepit berwarna coklat itu harganya tak seberapa, mungkin cuma beberapa puluh ribu rupiah. Saya tak tahu pasti harganya.

Tapi bagi Ihsan, sandal itu punya nilai yang dalam sekali. Sandal itu diberikan sang kakek (ayah saya) saat ia disunat awal Januari silam. Sandal itu kerap menemaninya ke sekolah, karena di sekolah diharuskan membawa sandal jepit untuk berwudhu.

Sandal itu punya arti yang khusus bagi Ihsan karena pemberian mbah Kakungnya. Ia memang punya hubungan khusus dengan mbahnya, yang siapapun tak bisa menjelaskannya. Bahkan saya sekalipun.

Ihsan cucu pertama di keluarga saya. Bagi bapak dan ibu, ia adalah permata keluarga. Ia hadir saat kepedihan sedang melanda keluarga kami. Saat itu kami didera cobaan berat, dan Ihsan mengisi hari-hari kami. Bapak dan ibu yang sempat 'jatuh' , saat kelahiran Ihsan tiba-tiba seolah mendapat semangat baru yang luar biasa. Kami bisa rasakan itu!

Itu makanya Ihsan dan mbah kakungnya memiliki hubungan unik. Keduanya kompak banget sejak dulu. 

Rupanya sandal hanya perantara hubungan diantara mereka. Sandal itu memberinya semangat karena diberikan mbah kakung dengan segenap cintanya.

Hingga tulisan ini dibuat, saya belum berhasil mengorek keterangan dari Ihsan, karena ia langsung tertidur setelah kehilangan sandalnya.

*gbr ihsan after sunat.

Senin, 05 Januari 2009

Ninis Sakit DB




Ninis dalam berbagai pose, sejak masuk RS Meilia, 27 Des'08 hingga pulang 3 Januari 2009.

Dari wajahnya terlihat perubahan, mulai dari layu, membaik hingga segar.

Semoga ini tak pernah terulang lagi untuk siapapun. Karena DB sulit dilacak awalnya. Panas di awal sakit selalu didiagnosa sebagai radang atau typhus. Jika orang tua abai, bisa2 anak kita 'lewat'.

Pelajaran terbesarnya: Sabar, sabar dan sabar. Dengan sabar kita bisa berpikir lebih rasional. Dan pikiran rasional dibutuhkan untuk mengambil tindakan cepat jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tak terduga.

Oh ya, 6 hari di RS Ninis melewatkan 2 tahun baru, hijriah dan masehi. Sedih juga melihat kakaknya bawa terompet ke RS tanpa bisa kemana-mana. Malam tahun baru kita habiskan dari balik jendela, dengan kilatan kembang api dari warga di sekitar Cibubur.

Minggu, 04 Januari 2009

Ihsan dikhitan

Sabtu lalu, dengan diantar pakde, mbah kakung dan ayah, Ihsan dikhitan di rumah sunatan, Cimanggis Depok. Saya pilih tempat ini berkat rekomendasi beberapa kawan, karena menggunakan metode baru smart klamp, teknologi Belanda yang difranchise dari Malaysia.

Apa kelebihan smart klamp? Proses sunatnya tidak banyak mengeluarkan darah, perawatannya mudah, setelah disunat sudah bisa menggunakan celana dan beraktivitas. Poin terakhir itulah yang membedakan dengan metode lainnya.

Proses sunat pun lumayan cepat. Datang pukul 05.30, daftar, menunggu dokter, tunggu giliran dan sunat cuma 15 menit.

Berbeda dengan tempat lain, rumah sunatan didesain ramah bagi anak-anak. Desain interiornya banyak dihiasi poster besar tokoh kartun. Sebelum 'eksekusi', pasien dialihkan perhatiannya dengan menonton film kartun.Tujuannya agar pasien tidak takut dan lebih rileks.

Kalau ada yang mengganjal, mungkin biayanya. Untuk sunat dengan metode smart klamp biayanya 750 rb rupiah. Tapi penanganannya cukup baik, dengan tenaga medis dokter yang masih muda dan sangat mengerti anak-anak.

Oya, selain di Depok, rumah sunatan juga ada di Bintaro, Cipinang, Kayu Putih, Surabaya, Medan dan Semarang.

*Ihsan beberapa saat sebelum disunat

Alhamdulillah!

Hari yang berat dan melelahkan akhirnya lewat juga.

Akhir tahun yang biasanya diisi dengan keriaan, kali ini kami lewati dengan penuh keprihatinan. Persis tahun baru hijriah, sibungsu Ninis masuk rumah sakit Meilia Cibubur karena vonis DBD. Awalnya kami kira dia hanya panas biasa. Tapi kami curiga karena hingga hari ketiga panasnya belum juga usai.

Karena takut ada apa-apa, tes darah jadi rujukan. Ternyata benar dugaan kami, trombositnya di bawah normal, sudah 131 rb. Vonis DBD pun kami amini. Apalagi Ninis adalah orang ke-11 di komplek kami yang diopname karena DBD.

Di opname kondisinya naik turun, apalagi dia susah minum-makan dan minum obat. Padahal kunci pengobatan DB adalah banyak asupan makan dan minum untuk meningkatkan trombosit.

Banyak saran yang mampir ke kami, pakai inilah, itulah. Tapi kami sepakat untuk menggunakan sari kurma, karena alasan rasanya pasti disuka Ninis. Setelah masuk dengan trombosit 131 rb, trombonya turun ke 54 rb, 56 rb, 50 rb, 95 rb, dan sebelum pulang 150 rb.

Selama Ninis dirawat, saya pontang-panting dari RS - rumah - kantor. Anak sakit kok masuk kantor? Begitu yang dipertanyakan sejumlah kawan. Saya memang gak mungkin cuti, sebab dua kawan se-program sudah cuti duluan.

Pontang-panting lainnya karena si sulung akan dikhitan. Bunda menyarankan untuk di'cancel' aja sunatannya. Wah sudah dipesan semua, kalau dibatalkan pasti kena penalti. Akhirnya kami maju terus. Bunda mengurus printilan acara melalui hand phone-nya, saya dapat tugas mondar-mandir sampai nyebar undangan tetangga hingga telpon kerabat.

Sempat ketar-ketir juga lantaran saat hari-H si sulung, Ihsan dikhitan Ninis dan bunda masih di RS. Akhirnya siang harinya Ninis sudah boleh pulang.

Alhamdulillah acara syukuran khitanan Ihsan berjalan lancar dan Ninis kini sudah berada di tengah keluarga kembali. Benar-benar kado awal tahun yang luar biasa bagi kami sekeluarga. Melewatkan dua Tahun Baru di rumah sakit, membiarkan anak2 liburan sendiri di rumah, hingga ngantor saat anak sakit...