Kamis, 28 Agustus 2008

Melihat Bakat dan Kegemaran Anak

Memupuk bakat dan ketrampilan anak sejak dini ternyata susah-susah gampang. Sejak awal saya dan istri memberi kebebasan 3 anak kami untuk mengeksplor kemampuannya.

Si sulung Ihsan sejak awal sangat menyukai kegiatan fisik selain ngutak-ngatik game komputer. Ia sangat gemar sepak bola dan futsal. Saat kecil, bangun tidur sudah main bola di teras rumah, pulang sekolah pun begitu. Bahkan kalo sudah main di lapangan kerap lupa waktu! Kalo sudah begitu, si bunda yang ngamuk-ngamuk..

Awalnya kami tak sadar, itu kami anggap hanya sekedar keisengan belaka. Tapi karena ditekuni, eh sekarang malah jadi hobby yang menghasilkan prestasi. Bahkan kemarin saat 17-an dia dan tim futsalnya juara 1 di sekolah dan juara dua di RW. Wah bangga banget saat Ihsan menunjukkan hadiah kemenangannya. Memang sih tak seberapa, tapi nilainya itu yang membanggakan. Di sekolah dapat jam dinding, sementara di RW dapat uang 300 ribu dibagi rata ber-10.

Lain lagi cerita si tengah Nabila. Sejak kecil kami amati dia lebih nyeni, setidaknya dibandingkan ayah-bunda dan masnya. Karena cewek, ia lebih centil, ekspresif, dan selalu ingin tampil. Karenanya, tak heran saat TK kecil ia sudah tampil di panggung 17-an menari bersama kawan-kawannya yang semuanya SD.

Belakang hari, ia minta les menari Bali. Kami tak pernah memintanya untuk ikut kursus, tapi benar-benar dia yang meminta. Katanya ingin menari biar bisa keliling dunia! Wow! Dan belum sebulan les tari, ia minta tampil menari di panggung 17-an RT kami. Permintaan yang semula mengundang tanya sang bunda maupun guru tarinya. Bunda agak sangsi sebab Nabila anak yang moody, bunda cemas jangan-jangan malah mogok di panggung.

Tapi dengan pede dia buktikan bisa menari Pendet di hadapan warga secara tunggal, meski belum lancar-lancar bener! Dan pekan lalu untuk pertama kalinya ia pentas 'beneran' di JACC Tanah Abang. Jika di pentas 17-an di lingkungan rumah hanya ditonton kami sekeluarga, maka saat tampil di JACC kami berbagi kebanggaan dengan mbah kakung dan mbah putrinya anak-anak.

Senang rasanya melihat mereka bahagia dan bangga dengan pilihannya. Kami memang tak bisa memberikan fasilitas melimpah, tapi kami memberi ruang yang sangat lebar bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Teruslah berkembang anak-anakku!

*foto atas: Ihsan (celana hijau) dengan tim futsalnya.

*foto bawah: Nabila sebelum pentas 17-an

Selasa, 19 Agustus 2008

17-an di Cibubur




Momen tercecer dari perayaan 17-an di komplek kami. Ini adalah momen pertama berkegiatan bersama, setelah setahun tinggal. Lumayan seru, hampir semua warga yang sudah menghuni rumah disini ikut serta.

Senang, karena bisa terbebas dari rutinitas sejenak. Biasanya sebagian besar kami disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Say hello hanya sempat saat berangkat kerja atau akhir pekan.

Meski tak banyak jenis lomba yang digelar, tapi mencakup semua kalangan usia. Untuk balita ada lomba menangkap ikan. Anak-anak ada lomba makan kerupuk, memasukkan paku di botol, memecahkan balon, serta bakiak race. Untuk ibu-ibu ada lomba balap karung dan bakiak race. Sementara kaum bapak ada lomba gaple, badminton dan tenis meja. Sedangkan untuk keluarga, digelar aerobik dan jalan santai.

Selain itu digelar pula Tasyakuran 17-an berisi renungan dari seorang sesepuh komplek. Di akhir acara juga ada malam ramah tamah serta pentas seni. Nabila sempat tampil menari Bali disini.

Sebagai warga saya ikut senang acara ini meriah. Kami juga bisa membaur sedemikian rupa dan melupakan perbedaan yang sempat muncul di masa awal tinggal di komplek ini. Semoga tahun depan lebih baik dan kami makin guyub.

Oya, berhubung ketua panitianya orang o-channel, acara ini juga diliput kru o-channel dan tayang di acara Gado-gado Jakarta, 19 Agustus 2008.

Senin, 11 Agustus 2008

Teganya, Ayah Gantung Anak di Pohon

Stress akibat tekanan ekonomi kerap membuat orang tua gelap mata. Salah satunya terjadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Seorang ayah tega mencekik anaknya hingga tewas. Dan lebih mengenaskan lagi, jasad si anak berusia 6 tahun itu digantung di atas pohon!

Duh, hidup memang keras, tapi janganlah ambil jalan pintas yang mengorbankan nyawa orang lain.  Apalagi anak kandung sendiri!

Wah, nggak bisa nulis lagi. Saya hanya bisa tertegun dan tercenung. Semoga saya dijauhkan dari niat berbuat kekerasan pada siapapun, meski himpitan hidup sesulit apapun.

Semoga Bahar--nama bocah itu, mendapat tempat terindah disisi-Nya.

*gbr diambil dari sini.
==========
Berita diambil dari Kompas.com, Senin, 11 Agustus 2008 | 21:28 WIB

PEKALONGAN, SENIN- M Teguh Santosa (38) ternyata tak seteguh dan sekuat namanya. Diduga karena stres, ia tega menggantung anaknya di pohon mangga. Tentu saja Makmur Baharullah (6) tewas. 

Peristiwa tragis yang terjadi Desa Rowo Kembu, Kecematan Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Senin (11/8), ini pertama kali diketahui ketika salah seorang warga, Warjo (72).

Saat itu Mbah Warjo bermaksud buang hajat di sawah. Di tengah jalan ia melihat seseorang sedang tidur di bawah pohon mangga. Karena tak ada yang ganjil, ia berlalu begitu saja. Akan tetapi, ketika ia kembali dari buang hajat dan melintas di jalan yang sama, matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang menggantung di pohon mangga, persis di atas Tegun tertidur.

"Semula saya tidak tahu, jika yang tidur di bawah pohon adalah Teguh. Saya semakin terkejut ketika melihat di atas pohon mangga ada anak tergantung dalam kondisi sudah tewas," katanya.

Warjo kemudian menghubungi tetangga lainnya, yaitu Kusnoto (60) dan melaporkan kasus itu ke Ketua RT 09/ RW 04, Bambang Supriyatin. Saat tiba di lokasi kejadian bersama warga, Teguh Santosa sudah di atas pohon sambil bertiduran.

Ketika didatangi oleh sejumlah warga, Teguh berusaha menjatuhkan diri dari pohon mangga. "Saat ditanya dirinya mengatakan anaknya sudah dibunuh karena dipanggil Tuhan," katanya.

Petugas yang mendapat laporan dari warga mendatangi lokasi dan mengevakuasi korban yang sudah kaku dan tak bernyawa. "Posisi anak itu terikat dengan sobekan kain sarung di salah satu dahan pohon mangga setinggi sekitar 3,5 meter" kata Ketua RT 09, Bambang.

Jenazah Makmur kemudian diturunkan dan dibawa ke RSUD Kraton untuk divisum, sedangkan tersangka Teguh diamankan di kantor polisi setempat. 

Sering marah-marah

Menurut kakak kandung Teguh bernama Ida, Teguh dalam beberapa hari terakhir memang sering marah-marah dan berkata sendiri seperti orang stres. "Terakhir, adik saya (Teguh Santosa) berbicara sendiri dan marah-marah tentang masalah BLT," katanya.

Kepala Kepolisian Resor Pekalongan Ajun Komisaris Besar Aan Suhanan melalui Kepala Kepolisian Sektor Wonopringgo Ajun Komisaris Prajoko mengatakan, polisi belum bisa memastikan motif pembunuhan. Namun dari pemeriksaan sementara polisi mencurigai kejiwaan tersangka yang menjawab seenaknya dan terlihat tidak menyesal.

"Kepada penyidik, tersangka mengakui membunuh anaknya karena dia sayang dan ingin mempertemukan anaknya dengan Tuhan," katanya. 

Sebelum peristiwa itu, tersangka mengaku membawa istrinya, Wiwid (29) dan dua anaknya, yaitu Nurdin (8) dan Makmur Baharullah (6) ke sawah untuk diajak menghadap Tuhan. "Namun tersangka baru sempat membunuh anak bungsunya karena anak sulung dan istrinya minta pulang," katanya.


Rabu, 06 Agustus 2008

Parahnya Perilaku Berkendara Kita

Pagi tadi saat bareng istri menuju terminal bis Kampung Rambutan, motorku nyaris terjatuh dipepet mobil. Kami yang tengah melaju pelan di kiri jalan, dibikin kaget dengan mobil yang tiba-tiba belok kiri. Tanpa lampu sen, jelas membuat kami sempat kalang kabut. Untung laju motor tak seberapa, hingga masih sempat ngerem.

Istri langsung teriak ke sopir yang ternyata perempuan untuk nyalain lampu sen. Parahnya, dia cuma cengengesan aja menanggapi teriakan istri.

Ini bukan sekali dua saya mengalami peristiwa serupa. Alhamdulillah sejauh ini selamat.

Perilaku warga yang seenaknya di jalanan memang memprihatinkan. Beberapa kali saat pulang malam saya hampir ditabrak pengendara motor yang muncul dari kegelapan tanpa menyalakan lampu. Entah malas menyalakan lampu atau kebetulan lampunya rusak, yang jelas tindakan itu merugikan orang lain.

Lebih 60 tahun merdeka, saya merasa perilaku berkendara kita belum merdeka. Jalanan seolah milik sebagian orang, hingga banyak yang merasa bebas melajukan kendaraan tanpa aturan. Tak ada kepedulian, memikirkan keselamatan orang lain pun tak pernah. Duh!

Mungkin ini tuah dari mudahnya mendapatkan SIM di negeri ini. Sehingga tak ada standarisasi perilaku saat berkendara. Aturan tinggal aturan...

*gbr diambil dari sini.