Sabtu, 03 Juni 2006

Cerita Kecil dari Klaten


Pasca gempa di Yogya dan Jateng, seorang kawan, sebut dia Agus Klaten masuk kantor setelah beberapa hari mudik ke kota kelahirannya, dengan cerita mengharukan. Kepulangannya ke Klaten bukan untuk wisata atau kangen-2an, tapi menengok orang tua dan keluarganya pasca gempa. Ia berangkat ke Klaten saat hari-H gempa, Sabtu siang.

Agus cerita, rumah keluarganya di Klaten ambruk tak berbekas karena gempa. Untungnya, semua anggota keluarganya selamat, sehat wal afiat. Paling hanya menderita luka ringan di tangan dan kaki. Syukur alhamdulillah, kataku.

Tapi, lanjutnya, setelah itu justru cerita miris yang terdengar. Ibunya tak bisa mendengar suara gemuruh sedikitpun. Mendengar suara sepeda motor langsung kabur ketakutan. Adiknya yang kelas 1 SD menjerit ketakutan mendengar desau angin kencang. Belum lagi perasaan nelangsa yang keluar saat memandangi bangunan rumah mereka kini tak lagi bersisa.

Sang adik dengan keluguannya sambil menangis kerap berucap,"Mak, rumah kita ndak bisa ditempati lagi....kita nanti tinggal dimana, Mak." Mereka yang mendengar hanya urut dada pilu.

Saat bersama anggota keluarga adalah waktu paling berharga bagi korban gempa. Biasanya mereka bisa berbagi cerita, tentang apapun. Seolah duka yang tengah mereka rasakan, bukanlah beban. Tapi, usai semua keluarga berlalu pulang atau istirahat, yang bersisa hanya kehampaan. Merenung, merenung dan merenung. Duh!

Hingga 4 hari pasca gempa, keluarga kawan di Wedi, Klaten ini tak berani tidur di dalam rumah atau bangunan. Mereka milih tidur di tanah, atau diatas tikar, sebab tak ada tenda darurat atau kasur bersisa. Karena sepanjang mata memandang, rumah warga di desa ini tak ada yang utuh lagi.

Agus bahkan berkisah, ia terpaksa ikut menjarah bantuan pangan yang sempat lewat di desanya. Kalau tak ikut menjarah, ia khawatir adik-adiknya yang kecil atau emak-bapaknya tak kebagian makanan. Cara lain yang ia lakukan untuk bisa bertahan hidup adalah dengan mengemis di jalan raya, berharap sedekah dari orang lewat untuk membeli penganan sekedarnya. "Abis bantuan belum satupun yang masuk khusus ke desaku," ujarnya. Bantuan yang mereka jarah, sebenarnya adalah bantuan yang nyasar ke desa tetangga yang tak seberapa parah.

Ia juga bercerita, seorang tetangganya yang pernah merawatnya semasa kecil dulu, ditemukan tewas gantung diri dengan stagen, karena tak kuat menanggung derita. Si mbok tak kuat harus mencari makan seorang diri, setelah suaminya tewas karena gempa. Belum lagi bayangan tak memiliki rumah, membuat ia depresi dan memilih mengakhiri hidup dengan cara seperti itu. Aduh!

Agus berkisah tanpa ekspresi kesal pada pemerintah. Baginya, ini nasib, tak perlu ada yang dipersalahkan. Karena tak ingin keluarganya menderita, kini keluarganya terpaksa ia titipkan ke sejumlah saudara di Sragen.




12 komentar:

  1. Semoga segera dibebaskan dari penderitaan

    BalasHapus
  2. Saya khawatir bangsa ini mulai apatis kepada pemerintahnya.

    Duh, prihatin. Gimana keadaan Agus dan keluarganya sekarang?

    BalasHapus
  3. ya, cak nono, saya pun berharap demikian.

    BalasHapus
  4. Agus sudah masuk kantor, mas. Adik dan keluarganya yang lain dititipkan di keluarga lainnya di Sragen. Ayahnya yang stroke bersama ibunya sementara ditampung di mess kantornya dulu.

    BalasHapus
  5. Semoga tetap diberi ketabahan dan kekuatan.

    BalasHapus
  6. Syukur alhamdulillah.

    Tapi tetap prihatin karena saya lihat di tv masih banyak yang nasibnya lebih buruk.

    Terima kasih infonya mas.

    BalasHapus
  7. Ini PR besar yang menanti hingga bertahun-tahun mendatang. Penanganan paska trauma di Aceh hingga kini masih berlangsung.

    Semoga media tetap rajin mengingatkan soal-soal seperti ini, agar pemerintah tak lupa atau pura-pura lupa..

    BalasHapus
  8. Mudah2an mereka tetap tabah dan diberi kekuatan dalm ujian ini.

    BalasHapus
  9. setuju mas, kita kerap lupa terhadap penangan paska trauma. korban sudah bisa beraktivitas dianggap masalahnya selesai. di Klaten dan Yogya pun demikian, mereka yang tak mengalami luka berat terabaikan. padahal mereka menanggung trauma yang tidak bisa dikatakan ringan.

    BalasHapus
  10. kenapa gak diceritain gimana hitamnya wajah agus,
    habis berpanas berhujan selama seminggu

    BalasHapus
  11. ya Allah, semoga bantuan segera sampai ke tangan mereka yg benar-benar membutuhkan bantuan
    kalau liat di tipi, bantuan mencapai sekian miliar, jadi ragu ..kira2 nyampai gak yah kepada mereka yg sedang kesusahan ?
    bukan cuman bantuan untuk jangka pendek, tapi juga bantuan untuk program recovery, fisik maupun mental.

    BalasHapus
  12. trauma dan depresi yang dialami para pengungsi, jangan sampai luput dari perhatian pemerintah dan para relawan.
    seperti sodara saya yang jadi korban tsunami aceh. sampai hampir setahun kemudian, ia masih trauma dengan bunyi tetes air, apalagi air hujan.

    BalasHapus