Selasa, 23 Juni 2009

Garuda di Dadaku dan Langkanya Film Anak

AKHIRNYA senin lalu (22 juni) saya bersama 3 anak nonton juga Garuda di Dadaku. Bukan main antusiasme penonton yang ingin menyaksikan film ini. Kami yang datang pukul 11, semula berharap bisa nonton untuk pertunjukan pertama pukul 12.30. Tapi sayang, begitu sampai di loket, pertunjukan pertama hanya menyisakan 3 kursi yang jaraknya terpisah.

Hmm..daripada anak-anak rewel, mendingan ambil pertunjukan selanjutnya, jam 14.40. Masih lama tak apa, yan penting kumpul. Toh jadi ada kesempatan nongkrong di toko buku.

Sebenarnya kami bukanlah bioskop mania. Dulu semasa kuliah saya kerap nonton sekedar refreshing. Namun sejak menikah dan kerja, frekuensi nonton di bioskop saya turun drastis. Kenapa akhirnya kami nonton film ini? Demi anak-anak. Saya ingin mereka juga merasakan pengalaman belajar dari berbagai hal. Dan film salah satu cara kami untuk mengenalkan mereka pada ‘dunia lain’ selain buku dan pengalaman batin lainnya.

Dan tebakan saya sejak awal ternyata benar. Mereka sangat enjoy melihat film ini. Banyak hal yang bisa diambil dari cerita sederhana Garuda ini. Mulai dari arti persahabatan, kerja keras, dan saling membantu. Nilai-nilai yang sangat sederhana dan membumi semacam ini dibutuhkan anak-anak.

Setelah dibombardir dengan aneka hiburan kelas rumahan di tivi yang sangat ‘ajaib’ itu, nonton film ini serasa melihat sebuah gagasan sederhana yang sangat khas anak-anak. Anak-anak seolah melihat dirinya sendiri, yang berani mimpi dan bekerja keras untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Penghargaan akan proses yang saya cermati dari film ini. Karena justru disinilah persoalan yang kerap kita hadapi. Generasi sekarang dianggap tak menyenangi sebuah perjuangan. Senang akan hasil tapi menafikan proses.

Tapi bukankah yang membuat itu semua ya orang dewasa, kita-kita juga.Lihat saja pertunjukan tv di rumah, semuanya menafikan proses. Hidup ini seolah nyaman bener. Tak perlu sekolah bener, toh nanti bisa jadi model, dapat duit banyak, terkenal. Tak perlu jujur kalau memang dengan curang bisa jadi ‘orang’. Wah!

Prihatin saya melihat langkanya tontonan yang bisa menuntun. Memang bukan untuk kita yang dewasa, tapi lebih untuk anak-anak kita. Karena anak-anak kita adalah masa depan kita nantinya. Jika kita tak peduli, jangan pernah mengharap generasi mendatang akan cemerlang.

Film memang hanya bagian kecil dari sebuah persoalan. Tapi film adalah produk budaya yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah bangsa merangkai masa depannya.

Salut karena masih ada orang yang mau bekerja keras memberi sebuah pengajaran melalui film bagi anak-anak. Negeri ini amat sangat langka dengan tontonan yang khas anak-anak, yang memotret mereka sebagai subyek yang memiliki mimpi, cita-cita, harapan akan masa depan. Bukan lagi sebagai obyek perlakuan buruk orang tua, atau jadi super hero yang tak menjejak bumi.

Kalaupun harus mengkritik film ini, mungkin lebih pada kemasan. Entah mengapa Garuda mengambil setting dan menampilkan sosok anak Jakarta lagi. Bukankah cerita anak dari jakarta sudah terlalu sering? Meski tak ada yang salah dengan anak Jakarta, tapi akan lebih menarik (menurut saya) memotret perjuangan anak kampung yang berjuang menjadi pemain bola. Mungkin bisa lebih seru. Toh kisah Laskar Pelangi yang dari Belitung saja bisa menyihir anak kota untuk menonton.

Tapi secara keseluruhan film ini menarik bagi keluarga. Selain nilai-nilai yang saya sebut tadi, ada satu yang juga penting dan belakangan sangat tak dipedulikan yakni nilai patriotisme. Wah, saya sendiri merasa ikut bangga saat menyaksikan tokoh utama Bayu mengenakan kaos berlambang Garuda di dadanya. Adegan yang sangat emosional dan membuat leleh air mata.

Garuda di dadaku…

Garuda Kebanggaanku

Ku yakin hari ini pasti menang…

*tulisan ini ada di Kompasiana.

21 komentar:

  1. Jaman sekarang generasinya generasi karbit Om,

    BalasHapus
  2. saya juga mau nonton.. tapi sayang belum sampai sini.

    BalasHapus
  3. Adikku (6 orang) kuajak semua menonton Garuda di Dadaku, tadi malam, Mas. Setelah selesai, mrk bilang kalau jalan ceritanya terlalu sederhana, meski mereka enjoy, mrk lebih menikmati sinar eksotik film Laskar Pelangi.

    Gimana2, LP memang lebih mengaduk2 emosi, meski hanya berupa mozaik2...

    Tapi, salutlah sama Mizan Production, serius berproses membuat film2 dengan tema2 yg tak jamak dibuat oleh film production lainnya :-)

    BalasHapus
  4. Ketidakjamakan itu yang harus diangkat

    BalasHapus
  5. justru dari sosok anak jakarta yang katanya metropolis dan terkesan sok luar negeri minded ituh akan sangat luar biasa kalo masih ada jiwa nasionalisme, mas...

    BalasHapus
  6. saya jg sudah nonton film ini, mas... dan saya suka... Dgn hal sederhana bisa menjadi film yg menarik...
    Soal anak jakarta, mungkin justru utk menunjukkan kalau ga semua anak jakarta manja dan terlena dgn kehidupan kota..? (IMHO, lho.. :) )

    BalasHapus
  7. Ninis jg sdh bisa ikut menikmati film ini mas? Kami pengen ngajak vari, tp msh khawatir jangan2 dia blm bisa menikmati film-nya

    BalasHapus
  8. menjadi agenda juga menonton film ini

    BalasHapus
  9. ngerti sih belum. dia cuma senang aja kalau ada adegan lucunya. karena ada 2 kakaknya, dia jadi 'ngeh'.

    BalasHapus
  10. kalau aku justru berfikir kenapa harus mengambil setting jakarta lagi. sudah terlalu banyak film dengan tema dan penokohan yang jakarta sentris. padahal kalau mau ambil cerita sejenis, kisah anak makasar yang akhirnya bisa ikutan turnamen bola di Paris jauh lebih menyentuh. dan itu nyata.

    BalasHapus
  11. bener juga sih. cuma tadinya aku berharap si tokoh dari jauh terus ke jkt. kan seru, dan lebih 'berasa' patriotismenya.

    BalasHapus
  12. memang terlalu sederhana, setidaknya jika dibandingkan LP. dan menurutku gak adil membandingkan Garuda dan LP, berangkatnya beda. LP lebih dipersiapkan karena ada tuntutan sebagai novel laris yang fenomenal. sementara Garuda hanya mengisi ceruk liburan.

    BalasHapus
  13. kalau Laskar Pelangi sudah nonton?

    BalasHapus
  14. Laskar Pelangi sudah nonton. Adsa teman dari Jakarta titipkan VCDnya waktu dia ke KL. Novelnya juga udh baca.

    BalasHapus
  15. seru banget ya filmnya? aduh di aceh, capek deh! gak ada bioskop!

    BalasHapus
  16. Setuju pak Udin..Nilai2 yang hampir terkupa oleh para pencipta cerita. Berani bermimpi dan berjuang demi mimpi! Tapi bukankah potret anak Jakarta lebih real untuk membuat anak menyadari bahwa nilai2 sederhana ini juga bisa ditemukan di kota besar? Kalau di Daerah, nantinya bukan gak mungkin si anak berpersepsi bahwa nilai2 itu hanya ada di daerah saja?..Tapi tenang PAk Udin, ajak mas, nabila dan adek nonton King kalau mau melihat potret nilai2 yang gak kalah positifnya dengan latar belakang daerah.

    BalasHapus
  17. kalo LP film anak dari sudut pandang bukan anak... kalo GDD film anak dari sudut pandang anak. sederhana tapi tetap menarik.

    BalasHapus
  18. GDD tob deh...semoga ada film lain yg bisa mengedukasi anak2..bukan cuma di layar lebar tapi lebih utama dilayar kaca untuk menggantikan tayangan yang penuh kekerasan dan intrik yang tidak mendidik...

    BalasHapus